Sejak Runtuhnya Daulah Umayyah II di Andalusia pada tahun 1031 M, Umat Muslim yang ada di Andalusia mulai terpecah belah dan membentuk 33 kerajaan kerajaan kecil yang disebut Thaifah.

Thaifah-thaifah Muslim ini adalah wilayah yang memiliki berdaulat dan memiliki otonomi masing-masing sehingga sangat rentan diserang oleh kerajaan-kerajaan Kristen Eropa yang berada di wilayah Utara.

Sepanjang 200 tahun berjalan, satu persatu thaifah muslim berhasil ditaklukkan dengan mudah oleh kerajaan-kerajaan Kristen Eropa.

Hal ini terjadi akibat perselisihan, pertentangan dan perebutan kekuasaan  yang terjadi dalam wilayah internal antara Kerajaan-kerajaan Muslim tersebut, ditambah lagi dengan semangat (Reconquista) yang dimiliki Kerajaan Kerajaan Kristen Eropa.

Sampai akhirnya sekitar tahun 1238 M, hanya tersisa satu kerajaan Islam saja di benua biru tersebut, Kerajaan kecil tersebut terletak ujung Selatan tanah Andalusia,

Kerajaan kecil itu bernama Kerajaan Granada, yang merupakan benteng terakhir yang  dimiliki Umat Islam yang mendiami Andalusia.

Tulisan singkat ini akan memaparkan bagaimana kisah Kerajaan Islam terakhir di Eropa barat ini runtuh.

Selama terjadinya (Reconquista), satu per satu Kerajaan Islam jatuh dan takluk oleh kekuasaan Kerajaan Kristen yang melakukan penyerangan dari Utara.

Penyerangan ini Dimulai dari tahun 1031 M sejak Runtuhnya Daulah Umayyah II dan terus berlanjut hingga tahun 1200 M,  kota-kota utama milik Umat Muslim Andalusia seperti Kota Cordoba,  Sevilla, Toledo bergiliran ditaklukkan oleh Kerajaan Kristen Eropa.

Hari demi hari berganti, waktu pun terus berjalan dengan sangat cepat, hingga pada tahun 1236 M Pasukan Kerajaan Kristen Castile telah sampai di ujung perbatasan Wilayah Granada.

Namun pada saat itu Granada berhasil menghindarkan diri dari penaklukkan Kerajaan-Kerajaan Kristen Eropa, hal ini terjadi karena Sultan Granada Muhammad I bersedia bersekutu dengan Raja Fernando III dari Castile untuk merebut kota Cordova dari tangan Bani Hud.

Dan sejak saat itulah Kerajaan Granada bersedia menjadi vasal Kerajaan Castile.

Sultan Muhammad I juga ikut membantu Kerajaan Castile dalam merebut Kota Sevilla dari kekuasaan Islam. Namun setelah jatuhnya Kota Cordova dan Sevilla, Sultan Muhammad I harus menyepakati perjanjian yang sangat merugikan dengan Kerajaan Castile.

Perjanjian tersebut berisi tentang kesediaan dan ketundukan Kerajaan Granada dengan membayar upeti tahunan berupa ribuan koin emas kepada Kerajaan Castile.

Timbal baliknya, Kerajaan Castile menjamin independensi Kerajaan Granada dalam urusan dalam negeri mereka dan lepas dari ancaman invasi Castile.

Selain membayar upeti, faktor lain yang membantu Granada terhindar dari penaklukkan adalah karena letak geografisnya.

Kerajaan Granada adalah Kerajaan yang terletak di kaki pegunungan Sierra Nevada yang menjadi benteng alami dalam melindungi kerajaan Granada dari invasi pihak-pihak  luar.

Selama lebih dari 250 tahun, Granada tetap tunduk kepada Castile dengan membayar upeti yang jumlahnya sangat banyak.

Walaupun Granada sudah membayarkan Upeti dengan jumlah yang sangat besar, tetap saja Wilayah Kerajaan Granada dikelilingi oleh kerajaan-kerajaan Kristen yang sangat tidak bersahabat.

Kini Granada tidak lagi merasa aman  dari ancaman perang & penaklukkan.

Hingga akhirnya, Pada 1469 M Surat takdir tentang keruntuhan Granada pun dimulai, Raja Ferdinand II dari Aragon menikah dengan Putri Isabella dari Castile.

Pernikahan ini  menyatukan dua kerajaan terkuat di semenanjung Iberia mereka berdua merajut cita-cita yang satu, yaitu menaklukkan Granada dan menghapus jejak-jejak Islam dari benua biru untuk selama-lamanya.

Tahun 1482 pertempuran antara Kerajaan Kristen Castile & Aragon melawan Emirat Granada pun dimulai.

Sejak perang dimulai pada pertengahan tahun 1482 M Pasukan gabungan Kristen berhasil merebut Alhama, sebuah wilayah pesisir kerajaan Granada.

Sejak serangan pertama ke Alhama, Perang Granada terus berlangsung hingga keruntuhan kerajaan Granada.

Meskipun secara jumlah dan kekuatan Kerajaan Granada kalah jauh, namun semangat juang masyarakat muslim Granada sangatlah besar, mereka berperang dengan penuh keberanian.

Sejarawan Spanyol mengatakan,

“Orang-orang muslim  mencurahkan seluruh jiwa raga mereka dalam peperangan, mereka layaknya  seorang pemberani dengan tekad yang kuat dalam mempertahankan Negeri-nya, dan melindung diri mereka, istri, dan anak-anak mereka.”  

Demikian juga masyarakat sipil Granada, mereka turut ikut serta dalam peperangan, dengan gagah berani mempertahankan tanah air mereka dan mempertahankan eksistensi Islam di tanah Eropa.

Walaupun sebenarnya sudah tidak ada harapan dalam mempertahankan Kerajaan Granada dari keruntuhan, hal ini terjadi karena pada saat itu, orang-orang Kristen sudah bersatu padu, dan tidak lagi terpecah belah sebagaimana keadaan mereka di masa lalu.

Beda halnya dengan Granada yang malah menghadapi pergolakan politik. Para pemimpin muslim dan para gubernur cenderung saling sikut, memiliki ambisi yang berbeda-beda, dan berusaha saling melengserkan satu sama lain.

Di antara mereka ada yang berperan sebagai mata-mata Kerajaan Kristen dengan iming-iming imbalan kekayaan, tanah, dan kekuasaan.

Lebih parahnya lagi, pada tahun 1483, anak dari Sultan Granada Ali Abu Hasan yakni Muhammad (Boabdil), mengadakan pemberontakan terhadap ayahnya sendiri hingga memicu terjadinya perang sipil.

Raja Ferdinand yang mengetahui hal ini benar-benar memanfaatkannya untuk membuat Granada kian lemah, Ferdinand mendukung pemberontakan Sultan Muhammad (Boabdil) untuk melawan ayah dan anggota keluarganya.

Pasukan-pasukan Kristen dikerahkan oleh Ferdinand untuk membantu dan berperang bersama Sultan Muhammad (Boabdil) dalam menghadapi Ayah dan anggota keluarganya.

Hingga Akhirnya Sultan Muhammad XII (Boabdil) berhasil menaklukkan anggota kerajaan dan menguasai Kota Granada.

Sultan Muhammad XII (Boabdil) resmi menjadi penguasa baru Kerajaan Granada, namun kekuasaan Sultan Muhammad (Boabdil) hanya  terbatas di dalam wilayah Kota Granada saja, karena pasukan Kristen Kerajaan Castile & Aragon terus menekan dan mengambil wilayah-wilayah pedesaan disekitar Kota Granada.

Baru saja setelah Sultan Muhammad (Boabdil) menguasai Granada, dirinya mendapatkan sepucuk surat dari Raja Ferdinand untuk menyerahkan Kota Granada kepada dirinya.

Sang sultan pun terkejut dengan permintaan Raja Ferdinand, karena ia menyangka Raja Ferdinand akan memberikan wilayah Granada kepadanya dan membiarkannya menjadi raja di wilayah tersebut.

Pada akhirnya Sultan Muhammad XII (Boabdil) sadar bahwa ia telah dimanfaatkan sebagai pion oleh Ferdinand untuk melemahkan dan mempermudah jalan pasukan Kristen dalam menaklukkan Kota Granada.

Pada bulan April tahun 1491, Raja Ferdinand dan Ratu Isabella mulai mengerahkan puluhan ribu pasukannya untuk melancarkan serangan umum ke jantung kekuasaan Kerajaan Granada yang terletak di Istana Al-Hambra.

Istana ini terletak di titik paling strategis kota Granada. Luas komplek Istana Al-Hambra sekitar 14 hektar, dan dikelilingi oleh Benteng Alcazaba yang terkenal sangat Kokoh dan memiliki pola tidak beraturan.

Beberapa laporan sejarah menyebutkan, bahwa sebelum melakukan penyerangan, Ferdinand dan Isabella sebenarnya sudah memerintahkan Sultan Muhammad XII  (Boabdil) untuk menyerahkan Granada tanpa syarat.

Tapi hal ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan Muhammad XII (Boabdil).

Sultan Muhammad XII (Boabdil) lebih memilih untuk mempertahankan Granada dengan mengerahkan pasukannya yang tersisa untuk melawan pasukan gabungan Kerajaan Kristen.

Dari menara Istana Al-Hambra, Sultan Muhammad (Boabdil) melihat pasukan Kristen dalam  jumlah yang besar telah mengepung dan bersiap menyerang Granada.

Setelah Kerajaan Castile & Aragon melakukan pengepungan terhadap Kota Granada selama 8 bulan, pada akhirnya Sultan Muhammad (Boabdil) menyatakan menyerah dan mengajukan perjanjian damai kepada Raja Ferdinand dan dan Ratu Isabella.

Permohonan damai ini disetujui oleh pemimpin tertinggi politik umat Katholik tersebut.

Perjanjian tersebut dibuat di dalam Istana Al-Hambra.

Dalam isi perjanjian tersebut dinyatakan bahwa Sultan Muhammad (Boabdil) bersama keluarganya serta kaum Muslim Granada diwajibkan untuk meninggalkan Kota Granada selambat-lambatnya dua bulan setelah perjanjian tersebut di tandatangani.

Dan demikianlah. Setelah dua bulan berlalu, atau tepatnya 2 Januari 1492, Sultan Muhammad (Boabdil) melangkah keluar dari Istana Al-Hambra bersama seluruh keluarganya.

Dia menyerahkan kunci gerbang Kota Granada dan Kunci Istana Al-Hambra yang sudah dihuni oleh nenek moyangnya sejak 250 tahun yang lalu.

Sejarah mencatat ucapan Sultan Muhammad (Boabdil) ketika dirinya menyerahkan kunci tersebut kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella, “Ini adalah kunci menuju surga”, demikian kata (Boabdil).

Tepat setelah penyerahan kunci gerbang Kota dan Istana, pasukan Kristen memasuki Kota Granada.

Pasukan-pasukan Kristen memasuki Istana Al-Hambra sambil memasang bendera-bendera dan simbol-simbol kerajaan Kristen Eropa di dinding-dinding istana sebagai tanda kemenangan, dan di menara tertinggi Istana Al-Hambra mereka pancangkan bendera salib agar rakyat Granada mengetahui siapa penguasa mereka sekarang.

Keadaan saat itu benar-benar mencekam, seluruh penduduk muslim Granada tidak berani keluar dari rumah-rumah mereka dan jalanan pun lengang dari hiruk pikuk manusia.

Setelah menyerahkan Kunci Kota Granada & Kunci Istana Al-Hambra, Sultan Muhammad (Boabdil) pergi menuju Afrika Utara.

Beberapa saat ketika baru melakukan perjalanan, rombongan (Boabdil) berhenti sejenak di suatu bukit yang kini dikenal dengan nama "Puerto del Suspiro del Moro" (Boabdil) pun menitikkan air matanya dia mengamati pemandangan Kota Granada dan Istana Al-Hambra untuk terakhir kalinya.

Ibu (Boabdil) yang melihat keadaan itu tidak simpati kepada putranya, bahkan ia memarahinya dengan mengatakan,

“Bagus Nak, Engkau Menangis Seperti Wanita, Karena Engkau Tidak Mampu Mempertahankan Kota Granada Layaknya Seorang Laki-Laki”.

Oh Andalusia, kau adalah negeri  yang indah nan menawan, hampir 800 tahun kau berada dibawah kekuasaan Islam, dimulai pada tahun 92 H atau 711 M ketika Panglima Thariq Bin Ziyad berhasil menaklukkannya, hingga akhirnya pada tanggal 2 Rabiul Awal 897 H yang bertepatan dengan 2 Januari 1492 M semuanya berubah.  

Kaum Muslim Kalah, mereka dipaksa Murtad, yang hidup disiksa sampai tidak berdaya.

Hingga Akhirnya Mereka diusir dan pergi meninggalkan Andalusia hingga tak tersisa.

Andalusia menangis, meratap dan berpamitan untuk pergi dari pangkuan Umat Muslim entah berapa lama lagi.

Gen Saladin on Instagram: “Akhir kisah Andalusia di Bumi Eropa . Kontributor : @farruq_1453 Gen Saladin | @gen.saladin | t.me/gensaladin . #TodayInHistory Sejak…”
5,410 Likes, 96 Comments - Gen Saladin (@gen.saladin) on Instagram: “Akhir kisah Andalusia di Bumi Eropa . Kontributor : @farruq_1453 Gen Saladin | @gen.saladin |…”