Banyak pihak yang menganggap, salah satu hal yang menyebabkan Khilafah tidak wajib ditegakkan, adalah disebabkan oleh hadis Nabi, yang menyatakan bahwa Khilafah hanya berusia 30 tahun. Oleh karena itu, jika masih ada pihak yang memperjuangkan Khilafah, maka hal tersebut hanyalah romantisme sejarah dan tidak memahami hadis Nabi.

Benarkah?

Untuk menjawab hal tersebut, yuk disimak artikel terbaru dari @komunitasliterasiislam. Selamat membaca 😁


Dalam khazanah keislaman, ‘Khalīfah’ merupakan sebuah gelar untuk pemimpin kaum Muslim setelah wafatnya Rasulullah ṣallāllahu ‘alaihi wa sallam.

Allah berfirman dalam Al Quran surat al-Baqarah ayat 30,
“wa iż qāla rabbuka li al-malā’ikah innī jā’ilun fil ardhi Khalīfah”, (dan ingatlah ketika Tuhanmu mengatakan kepada para malaikat, “sesungguhnya Aku hendak menjadikan di Bumi ini seorang Khalīfah”)

Menurut al-Qurṭubī, ayat ini merupakan hukum asal akan wajibnya mengangkat Imām dan Khalīfah yang didengar dan ditaati (hāżihi al-āyah ashlun fī naṣbi imāmin wa khalīfatin yusma’u lahu wa yuṭa’).

Khalīfah merupakan wakil Allah di muka bumi ini yang ditugaskan untuk menjaga dan menerapkan hukum-Nya. Hukum Tuhan ini bertujuan untuk mengatur segala hal terkait perbuatan, ibadah, dan tata-cara hidup manusia, yang juga berhubungan dengan negara, yang keberadaannya merupakan keharusan bagi umat manusia.

Selain itu, dalam beberapa hadisnya Rasulullah ṣallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menyampaikan perihal Khalīfah. Beliau bersabda,

“Maka, pegang teguhlah sunnahku dan sunnah al-Khulafā’ al-Rāsyidīn yang diberi petunjuk (oleh Allah) setelahku, pegang eratlah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham.” (fa ‘alaikum bi sunnatī wa sunnati al-khulafā’ al-rāsyidīn al-mahdiyyīn min ba’dī, tamassakū bihā wa aḍḍū ‘alaihā bi al-nawājiż).

Atau dalam hadis lain, seperti sabdanya,

“Dahulu Bani Israel dipimpin oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, maka akan digantikan oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada nabi lagi setelahku. Dan akan ada khulafa’ yang banyak.” (kānat banū isrā’īla tasūsuhum al-anbiyā’, kullamā halaka nabiyyun khalafahu nabiyyun. Wa innahu lā nabiyya ba’dī, wa sayakūnu khulafā’un fa yakṡurūn).

Istilah khulafā’ dalam dua hadis di atas adalah jamak dari kata Khalīfah.

Seorang Khalīfah mempunyai tugas untuk menjaga agama dan menjalankan kepemimpinan di dunia (li ḥirāsati al-dīn wa siyāsati al-dunyā).

Lembaga atau institusi yang menjalankan tugas seorang Khalīfah tersebut disebut Khilāfah, yang dimaknai oleh Taqī al-Dīn al-Nabhāni sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Institusi Khilāfah yang sesuai dengan metode kenabian (‘alā minhāj al-nubuwwah) dijalankan oleh Khalīfah yang empat; Abū Bakr, ‘Umar b. al-Khaṭṭāb, ‘Uṡmān b. Affān, ‘Alī b. Abī Ṭālib, ditambah al-Ḥasan b. ‘Alī selama enam bulan. Setelah al-Ḥasan, kepemimpinan umat Islam dipegang oleh Mu’āwiyah b. Abī Sufyān di Damaskus.

Para sejarawan Muslim mencatat, Mu’āwiyah dapat menjalankan pemerintahannya dengan begitu baik. Kepemimpinannya yang berlangsung selama 40 tahun dirasakan oleh rakyatnya begitu aman dan sejahtera.

Hanya saja, di ujung senja masa jabatannya Mu’āwiyah berpandangan bahwa kekuasaan harus tetap dipegang oleh anaknya, Yazīd, dengan alasan agar negara tetap stabil karena dipegang oleh orang yang kuat dan dipercayainya.

Hal tersebut benar-benar ia realisasikan dengan mengangkat Yazīd sebagai Khalīfah. Tentu saja, pada awalnya hal ini tidak dapat berjalan lancar, karena kebijakan tersebut ditolak oleh sebagian besar Sahabat Nabi.

Ketika Marwān yang berlaku sebagai utusan Mu’āwiyah berkhutbah di Madinah untuk meminta bai’at penduduknya, Marwān menyampaikan,

“Siapa saja yang menyelisihi Mu’āwiyah (dalam perkara pengangkatan anaknya sebagai Khalīfah), maka dia telah menyelisihi sunnah Abū Bakr dan ‘Umar.”

Perkataan itu langsung disela oleh ‘Abd al-Raḥmān b. Abī Bakr,

“(Justru itu adalah) sunnahnya Heraklius dan Kaisar Romawi. Demi Allah, sesungguhnya Abū Bakr tidak menjadikan jabatan Khalīfah untuk anaknya seorang pun, tidak pula seorang pun dari anggota keluarganya.” (sunnah Hiraqla wa Qaiṣar, inna Abā Bakrin wallāhi mā ja’aluhā fī aḥadin min waladihi, wa la aḥadin min ahli baitihi).

Apakah kepemimpinan dinasti Umayyah dan dinasti-dinasti monarki setelahnya, termasuk ‘Uṡmāni, masih bisa disebut sebagai Khilāfah?

Memang, sedari awal Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sudah membedakan antara kekuasaan yang bersifat khilāfah dan kerajaan (mulk).

Dalam sabdanya yang disampaikan oleh al-Nu’mān b. Basyīr, dikatakan:

“takūnu al-nubuwwah fīkum, mā syā Allah an takūn, ṡumma yarfa’uhā Allāh Ta’āla, ṡumma takūnu khilāfah ‘alā minhāj al-nubuwwah, mā syā Allah an takūn, ṡumma yarfa’uhā Allāh Ta’āla, ṡumma takūnu mulkan āḍḍan...” (di tengah-tengah kalian ada masa kenabian. Dia ada atas kehendak Allah, kemudian Allah akan mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilāfah yang ada di atas metode kenabian. Dia ada atas kehendak Allah, kemudian Allah akan mengangkatnya. Kemudian akan ada kerajaan yang menggigit...),

Terlebih lagi dalam hadisnya yang lain Rasulullah menyampaikan,

“Khilāfah setelahku akan berlangsung selama 30 tahun, setelah itu akan menjadi kerajaan.” (al-khilāfah ba’dī ṡalaṡūna ‘āman, ṡumma yakūnu ba’da żalika al-mulk).

Namun menurut Ibn Khaldūn, kekuasaan monarki setelah masa Khilāfah Rasyīdah masih bisa disebut sebagai Khīlafah, karena,

“Ciri-ciri yang merupakan watak khas Khilāfah tetap ada (pada kerajaan itu, pen.), yakni, preferensi terhadap Islam serta mazhab-mazhabnya, dan taat mengikuti jalan kebenaran. Perubahan nampak hanya pada pengaruh kendali, yang adalah Islam, dan kini berubah menjadi solidaritas sosial (‘aṣabiyyah) dan pedang. Demikianlah situasi pada masa Mu’āwiyah, Marwān, putranya ‘Abd al-Malik, dan sejak khalīfah Banī ‘Abbās muncul hingga al-Rasyīd dan sebagian putranya.”

Persis seperti yang dinyatakan oleh Rasulullah, Khilāfah Rasyīdah setelahnya benar-benar berjalan selama 30 tahun, dimana kekuasaan Abū Bakr terentang selama 2 tahun (k. 632-634), ‘Umar selama 10 tahun (k. 634-644), ‘Uṡmān selama 12 tahun (k. 644-656), ‘Alī selama 5 tahun (k. 656-661), dan digenapkan oleh kekuasaan al-Ḥasan b. ‘Alī yang selama enam bulan sampai Rabī’ al-Awwal tahun 41/662.

Al-Suyūṭi mengutip perkataan para ulama bahwa tidaklah 30 tahun setelah Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam yang dimaksud dalam hadis tersebut kecuali (masa-masa) Khalīfah yang empat dan hari-hari dimana al-Ḥasan berkuasa (lam yakun fī al-ṡalāṡīna ba’dahu ṣallāllahu ‘alaihi wa sallam illa al-khulafā’ al-arba’ah wa ayyām al-Ḥasan).

Salah satu instrumen terpenting yang menjadikan penguasa-penguasa monarki Islam pasca-Khulafā’ al-Rāsyidīn tetap disebut sebagai Khalīfah adalah tetap eksisnya prosesi bai’at.

Tidak pernah ditemukan seorang Khalīfah yang menguasai kepemimpinan negara tanpa bai’at. Pengambilan bai’at juga bermacam-macam; kadang dari ahlu al-ḥalli wa al-‘aqdi, kadang dari seluruh masyarakat, dan kadang dari seorang Seyhülislām. Kadang proses pengambilannya berlangsung buruk, namun tetap dikategorikan sebagai bai’at.

Di samping itu, secara tekstual, hadis yang menyebutkan bahwa Khilāfah hanya berlangsung selama 30 tahun bertentangan dengan hadis lain, misalkan seperti hadis yang diriwayatkan Jabir b. Samūrah, dimana Nabi menyebutkan bahwa sampai Hari Kiamat, umat Islam akan dipimpin oleh 12 orang Khalīfah dari Quraisy.

Padahal selama masa Khulafā’ al-Rāsyidīn hanya ada lima orang Khalīfah termasuk al-Ḥasan b. ‘Alī.

Dari sini para ulama berpendapat, yang dimaksud Nabi bahwa Khilāfah hanya 30 tahun adalah masa Khulafā’ al-Rāsyidīn, sementara setelah itu disebut juga Khilāfah, walau bukan Khilāfah ‘alā minhāj al-nubuwwah.

Wallahu’alam bis Shawab. []

Penulis : Nicko Pandawa
Visualis : Muhammad Afifuddin Al Fakkar

Sumber:

Abū ‘Abd Allah Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurthubī, al-Jāmi li Ahkām al-Qur’ān, (Beirut: al-Risālah, 2006).
Al-Albānī, Takhrīj Musyakāh al-Maṣābih.
Ibn Khaldūn, Muqaddimah, Penerjemah Ahmadie Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).
Jalāl al-Dīn al-Maḥallī dan Jalāl al-Dīn al-Suyūṭi, Musḥaf al-Tajwīd ma’a Tafsīr al-Jalālain, (Dar al-Ma’rifah, 1420 H).
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭi, Tārīkh al-Khulafā’, (Beirut: Dar al-Minhāj, 1434/2013).
Taqiyuddīn al-Nabhāni, al-Syakhṣiyyah al-Islāmiyyah (Beirut: Dar al-Ummah, 2003).
Taqiyuddin al-Nabhani, Daulah Islam, Penerjemah Umar Faruq, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2009).
Lihat: Kamal Abu Zahra, The Centrality of the Khilāfah in Islam, hal. 47, http://www.khilafah.com/book-the-centrality-of-the-khilafah-in-islam/ (diakses 4 Januari 2019)

View this post on Instagram

[BENARKAH KHILAFAH HANYA BERUSIA 30 TAHUN] . Banyak pihak yang menganggap, salah satu hal yang menyebabkan Khilafah tidak wajib ditegakkan, adalah disebabkan oleh hadis Nabi, yang menyatakan bahwa Khilafah hanya berusia 30 tahun. Oleh karena itu, jika masih ada pihak yang memperjuangkan Khilafah, maka hal tersebut hanyalah romantisme sejarah dan tidak memahami hadis Nabi. . Benarkah? . Untuk menjawab hal tersebut, yuk disimak artikel terbaru dari @komunitasliterasiislam. Selamat membaca 😁 ___ Jika artikel ini bermanfaat, ajak temenmu untuk membaca artikel @komunitasliterasiislam ___ Raih amal shalih dengan like dan share update analisa @komunitasliterasiislam ___ #komunitasliterasiislam #literasi #islam #buku #politik #sosial #ekonomi #sejarah #media #mediasosial #quotes #quotesislam #quotesislami #news #jakarta #sekulerisme #liberalisme #komunisme #sosialisme #daulah #khilafah #mustafakemal #syria #muawiyah #indonesia #1924 #islamrahmatanlilalamin #yukngaji #hijrah #shift

A post shared by Komunitas Literasi Islam (@komunitasliterasiislam) on