Jika kita bertanya ke diri kita, sejauh mana kita mengenal tokoh-tokoh islam seperti Buya Hamka, M. Natsir, ataupun H.O.S Cokroaminoto, kira-kira apakah jawabannya?
Kenalkah kita dengan tokoh-tokoh tersebut? Bandingkan jika kita bertanya sejauh mana kita mengenal artis korea, kira-kira mana yang lebih kita kenal?
Kondisi seperti ini tentu sangat mengkhawatirkan. Generasi muda seperti kita lebih mengenal orang-orang yang hanya akan membawa kemudhratan kepada kita dibandingkan mengenal orang-orang yang memiliki ibrah kehidupan dan bisa dijadikan panutan untuk menggapai ridha ilahi.
Tidak ada manfaat yang bisa kita dapatkan dari mengidolakan para artis tersebut selain kecipratan dosa maksiat yang mereka lakukan. Bahkan bisa jadi kita mengikuti perbuatan maksiat mereka.
Jika ingin melihat kualitas diri bisa seseorang, lihatlah siapa idola mereka. Jika sejak kecil mengidolakan para tokoh-tokoh dan pahlawan Islam, tentu kualitas seseorang tersebut berbeda dengan kualitas seseorang yang mengidolakan artis korea.
Seseorang yang mengidolakan Usamah bin Zaid, pemuda umur 17 tahun pilihan Rasulullah yang ditunjuk untuk menjadi panglima melawan pasukan, tentu akan berperilaku dan bersikap seperti Usamah bin Zaid dalam kesehariannya.
Di usia muda, ia mampu menaklukan kerasnya kehidupan kampus dan lulus dengan predikat Cumlaude. Di usia muda, ia mampu memiliki perusahaan yang beromset miliaran dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Tidak seperti pemuda lainnya yang arah dan tujuan hidupnya tidak jelas karena mengidolakan tokoh-tokoh yang tidak jelas pula perilakunya.
Begitupun dengan Al Fatih. Ia mampu menaklukan Konstatinopel karena terinspirasi dan mengidolakan para pejuang-pejuang yang gugur dalam upaya mewujudkan nubuwah Nabi. Oleh gurunya, Aaq Syamsudin, Al Fatih selalu diceritakan kisah-kisah para pejuang yang berusaha menaklukan kota tersebut.
Dari kisah itulah Syaikh Aaq Syamsudin menanamkan dalam diri Al Fatih bahwa ialah yang dimaksud sebaik-baik pemimpin dalam Nubuwah nabi tersebut. Dan terbukti akhirnya ia mampu menaklukan Konstatinopel.
Masalah mengidolakan seseorang ternyata bukan hanya urusan dunia saja, tapi juga masalah akhirat. Sesuai hadits nabi yang berbunyi,
“Tidaklah seseorang mencintai suatu kaum melainkan dia akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat nanti.” (H.R Thabrani)
Kok bisa begitu? Tentu bisa. Dalam sosiologi hal tersebut dikenal dengan istilah identifikasi.
Kondisi di mana seseorang cenderung mengidentikan dirinya dengan orang yang ia idolakan secara sadar maupun tidak sadar.
Tentu kita sudah bisa menilai sendiri bahwa jika kita mengidolakan artis tersebut, maka hampir seluruhnya yang kita ikuti negatif, seperti seks bebas, paham hedonisme dan masih banyak lainnya.
Sesuai hadits di atas, kelak di akhirat kita akan berkumpul bersama orang yang kita idolakan.
Jika mengidolakan Usamah bin Zaid, Al Fatih dan yang lainnya, maka kita akan berkumpul dengan mereka.
Begitupun sebaliknya, jika mengidolakan artis Korea, bersama merekalah kita akan berkumpul di akhirat.
Para musuh islam sadar bahwa masalah idola- bukan hal sepele, ia memiliki dampak yang besar.
Dari sanalah mereka berusaha menggeser posisi tokoh-tokoh islam yang seharusnya menjadi idola pemuda dengan tokoh-tokoh fiktif yang mereka ciptakan.
Tepat apa yang Syaikh Yusuf Al Qardhawi katakan dalam bukunya yang berjudul ‘Distorsi Sejarah Islam’, ”Sejarah merupakan memori umat.
Oleh karenanya para musuh umat ini senantiasa berusaha menghapusnya dari ingatan kita, agar kita tersingkirkan dari masa lalu dan kegemilangan yang pernah kita capai, lalu kita dipaksa menghapus keagungan dari sejarah, tradisi, dan peradaban kita.”
Mereka takut jika para pemuda yang mengidolakan para tokoh islam, akan lahir kembali generasi Shalahudin yang akan membebaskan Al Aqsha.
Mereka takut jika para pemuda yang mengidolakan para tokoh islam, akan lahir kembali generasi Al Fatih yang akan membebaskan kota kedua dalam nubuwah Nabi setelah Konstatinopel yaitu Roma.
Maka, tidak ada cara lain selain membumikan kembali sejarah umat ke dalam memori pemuda.
Sekali lagi, tepat apa yang dikatakan Syaikh Yusuf Al Qardhawi,
”Sesungguhnya sejarah sebuah kaum adalah materi utama untuk mendidik generasi penerusnya, terutama jika umat yang bersangkutan adalah umat yang berperadaban tinggi serta memiliki peranan besar dalam memajukan dunia.”
Wallahu A’lam Bishwab