“Sekarang, Kamerad, apa sih sifat kehidupan kita? Mari kita perhatikan: hidup kita ini sengsara, penuh kerja keras, dan singkat. Kita lahir, kita dijejali begitu banyak makanan, sekedar supaya kita bisa bernapas dan dipaksa bekerja hingga titik akhir kekuatan kita; dan segera setelah kegunaan kita berakhir, kita disembelih dengan cara yang keji. Tak seekor binatang pun di Inggris tahu arti hidup bahagia atau waktu senggang sesudah ia berusia satu tahun. Tidak ada satu ekor binatang pun di Inggris ini yang bebas. Hidup seekor binatang sangat sengsara dan penuh perbudakan: ini adalah kenyataan yang sebenar-benarnya.“
Pidato Babi tua Major, sebagai pembuka kisah dari buku “Animal Farm”
George Orwell, seorang sosialis Inggris itu pada akhirnya harus kecewa dengan realisasi pemerintahan Soviet yang di luar dugaan, berujung pada totalitarisme. Ya, sang sastrawan kemudian menuliskan satire nya dalam sebuah novel fabel berjudul, “Animal Farm”.
Tanpa banyak basa-basi, Orwell langsung mengawali kisah ini dengan problematika terbesar manusia: hakikat hidupnya.
Hal inilah yang disampaikan melalui pidato si babi tua bijaksana bernama Major, yang menegaskan bahwa selama ini, mereka, para binatang, telah “teralienasi” dan hidup dalam kondisi tertindas yang tenaganya semata digunakan hanya untuk kepentingan manusia.
Hingga kemudian si babi Major memunculkan sebuah harapan, bahwa para binatang kelak akan terbebas dari situasi tragis itu, bebas menikmati peternakan dan seisi alam tanpa campur tangan dan kendali manusia.
Naasnya, si babi tua Major (yang banyak ditafsirkan sebagai representasi dari Karl Marx), tak berumur panjang. Ia harus wafat sebelum visinya terwujud.
Binatang-binatang yang terinspirasi dari pemikirannya mulai merumuskan pandangan hidup Major dan menyebarkannya kepada hewan-hewan lain, hingga terbentuklah opini umum di antara para binatang yang memicu sebuah revolusi di peternakan.
Kekuasaan dzalim Pak Jones selaku pemilik Peternakan Manor (representasi Tsar Nikolas II sang penguasa terakhir Kekaisaran Rusia), akhirnya berhasil ditumbangkan.
Ia dan anak buahnya pun melarikan diri, meninggalkan peternakan yang saat ini dikuasai oleh dua babi cerdas yang berbeda sifat dan pandangan: Snowball (Trotsky) dan Napoleon (Stalin).
Seiring revolusi, mereka mencoba menciptakan “Surga” dalam kehiduan komunal yang bebas dari penindasan. Berbagai perubahan radikal pun terjadi di dunia peternakan.
Nama Peternakan Manor (Manor Farm) diubah menjadi Peternakan Binatang (Animal Farm). Seolah menunjukkan, bahwa dunia peternakan yang baru adalah masyarakat tanpa kelas yang dibangun dari kaum binatang, oleh kaum binatang, dan untuk kaum binatang.
Mereka pun merumuskan keadilan versi mereka dan membuat peraturan yang memberi keuntungan kepada kaum binatang.
Porsi kerja dan makanan dibagi sesuai kapasitas, membuat “tujuh perintah” yang berfungsi layaknya undang-undang dasar bagi Peternakan Binatang, serta mulai merintis penguasaan atas apa yang mereka sebut sebagai “alat-alat produksi”.
Solidaritas mereka sebagai sesama kaum binatang begitu kuat, bahkan mereka pun berhasil mempertahankan kemerdekaan kala Pak Jones dan sekutunya kembali dari pelariannya dan berusaha merebut peternakan.
Sayangnya, konsep masyarakat ideal versi mereka bertentangan dengan fitrah penciptaan mereka. Mereka – yang disindir oleh Orwell dalam novel ini – adalah makhluk yang tak hanya tercipta dengan akal, tapi juga nafsu.
Snowball dan Napoleon yang kepemimpinannya tak mengenal aturan dari Tuhan yang sebenarnya itu, mulai tergoda atas nikmatnya kekuasaan. Mereka saling berkonfrontasi, yang akhirnya dimenangkan oleh Napoleon melalui adu domba, fitnah, dan kecerdasan manufer politiknya. Pasca menyingkirkan dan mengusir Snowball, Napoleon pun melenggang sebagai penguasa tunggal yang otoriter.
Napoleon dan kamerad-kamerad babinya, mulai mabuk dengan kemewahan. Perlahan, mereka pun menjadi golongan yang lebih tinggi.
“All animals are equal, but some animal are more equal than others”
Napoleon memanipulasi berbagai aturan yang sebelumnya disepakati bersama oleh sesama binatang, dan menyesuaikannya dengan apa yang semata menjadi kehendaknya.
Misalnya, menghilangkan kewajiban bekerja bagi para babi, memberikan keistimewaan atas jatah susu hanya kepada babi-babi, serta tidur nyaman di kasur dan tinggal di bekas rumah Pak Jones.
Di sisi lain, durasi kerja para binatang lain perlahan ditambah, jatah makanan mereka terus menerus dikurangi, bahkan tak segan untuk membunuh sesama binatang yang melawan kehendaknya.
Uniknya, perbuatan Napoleon itu justru tak ada bedanya dengan sikap manusia yang selama ini mereka lawan dan benci. Janji atas masyarakat tanpa kelas yang akan sejahtera bersama itu, pada akhirnya berakhir omong kosong.
Bahkan, ending dari buku ini pun ditutup dengan epic. Bahwa suatu hari, Napoleon menerima tamu dari peternakan tetangga, yaitu Pak Pilkington. Pertemuan yang awalnya ramah, tiba-tiba menjadi pertengkaran seru hanya gara-gara permainan kartu.
Saat Clover (kuda tua kesayangan Pak Jones) dan binatang lainnya datang untuk melihat sumber keributan itu, Betapa kagetnya mereka ketika tak mampu lagi membedakan, mana binatang dan mana manusia!
Bagi yang tak mengikuti sepak terjang komunisme, sebagaimana yang terjadi dalam peralihan kekuasaan Tsar Nikolas II kepada kaum Bolshevik hingga era kekuasaan tiran Stalin, mungkin menganggap buku ini hanya sebagai cerita fabel biasa.
Bahkan tak jarang, novel alegori karya Orwell ini dianggap sebagai representasi kekejaman kapitalisme. Namun, dengan berbagai kondisi khas komunisme yang muncul di dalamnya, kesimpulan bahwa novel ini adalah sindiran atas sosialisme Soviet agaknya tak berlebihan.
Apalagi, dalam esainya yang berjudul “Why I Write” (1946), Orwell mendeskripsikan novel Animal Farm sebagai, “the first book in which I tried, with full consciousness of what I was doing, to fuse political purpose and artistic purpose into one whole” [1]
Selain itu, buku ini ternyata juga menyajikan sebuah paradoks. Kita tentu tak menginginkan kapitalisme yang individualis, menindas, merusak, dan menghasilkan kesenjangan.
Namun, ternyata komunisme yang sering digadang-gadang menjadi solusi itu, nasibnya juga berakhir sama dengan kapitalisme, hanya melalui cara yang berbeda.
Begitulah kita. Bahkan sejak awal, Allah memang sudah menjamin bahwa manusia memang makhluk yang senantiasa berbuat kerusakan.
Itulah mengapa, manusia memang tidak diperkenankan untuk membuat aturan hidupnya sendiri. Aturan itu, ternyata mutlak harus berasal dari Allah: dzat yang menciptakan dan tentu saja, derajatnya lebih tinggi dari manusia.
Tak sedikit anak-anak komunis yang kemudian bersikap denial dan lari dari kenyataan Orwell. Padahal, jika kapitalisme tenar dengan Amerika Serikatnya, Islam dengan masa Khulafaur rasyidin nya, maka kita sangat sulit menemukan model terbaik dari sistem bernegara komunisme selain dari apa yang sudah dicontohkan oleh Uni Soviet. Jika Uni Soviet saja sudah gagal, lantas komunisme model apa yang masih ngotot untuk diperjuangkan?
Belajar dari komunisme Soviet yang tak mampu beradaptasi dan runtuh dalam waktu kurang dari 100 tahun, Tiongkok pun berusaha berkompromi dan menggabungkan keduanya sebagaimana yang disampaikan dalam ungkapan Deng Xiaoping yang terkenal, “Tak peduli kucing hitam atau kucing putih, yang penting bisa menangkap tikus.”
Bahkan dengan semaju-majunya Tiongkok, ternyata “bisyarah” materialisme historis ala Marx yang menjanjikan munculnya masyarakat sosialis sebagai pengganti dari masyarakat kapitalis, hingga hari ini pun masih belum terwujud.
Maka, pergolakan pemikiran ideologi saat ini memang seharusnya terpusat pada pertarungan Islam melawan kapitalisme. Tidak seperti Marx yang dikultuskan layaknya nabi, sabda Rasulullah Muhammad adalah betul-betul sabda seorang nabi.
Bahwa, dari berbagai pergolakan itu, Rasulullah pun telah menjanjikan bahwa kelak, Islam akan keluar sebagai pemenang.
Lantas, bagaimana mungkin kita masih segan untuk memperjuangkan Islam?
Sumber : Literasiislam.com \ Komunitas Literasi Islam
-
https://www.bl.uk/works/animal-farm#