Pemateri : Nicko Pandawa S.Hum

Rentetan parade militer yang digalakkan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah di benua Eropa sepanjang abad ke-15 sampai abad ke-17 membuat Khilāfah tersohor sebagai penguasa dunia tak terkalahkan dari segi militer saat itu.

Begitu pula aktivitas dakwah mereka yang luar biasa sehingga banyak penduduk di Eropa Tenggara yang memeluk Islam.

Namun sayang, para penguasa ‘Uṡmāniyyah tidak memberikan perhatian yang mendalam di aspek pemikiran Islam, bahasa Arab, dan perundang-undangan.

Ketimbang bahasa Arab, penguasa ‘Uṡmāniyyah lebih memilih untuk menjadikan bahasa Turki sebagai bahasa negara.

Padahal bahasa Arab adalah kebutuhan mendasar untuk memahami Islam dan menjadi salah satu syarat ijtihad. Aktivitas ijtihad ini penting dilakukan agar kaum Muslim bisa menilai setiap perkembangan baru dengan pemikiran Islam dan mencegah kejumudan.

Sementara itu, Eropa telah menampakkan indikasi kebangkitan yang ditandai dengan upaya sungguh-sungguh nan luar biasa oleh para filosof, penulis, dan pemikir Eropa dalam merombak ulang konsepsi kehidupan demi bangkit dari keterpurukan Abad Kegelapan.

Ini terjadi dalam kurun abad ke-14 sampai abad ke-17, di mana fase ini dinamakan dengan Renaissance, Abad Pencerahan.

Hal ini kemudian memicu terjadinya Revolusi Industri yang membawa inovasi-inovasi terbaru dalam sains dan teknologi.[1]

Dengan minimnya perhatian yang penguasa ‘Uṡmāniyyah berikan di aspek pemikiran Islam dan bahasa Arab, menyebabkan kaum Muslim hanya bisa terperangah ketika menyaksikan kemajuan pesat dari benua Eropa.

Hal-hal baru yang dimunculkan dari Renaissance dan Revolusi Industri memunculkan reaksi yang begitu miris di kalangan kaum Muslim dan para fuqahā’ yang jumud dan tidak mampu berijtihad. Sebagaimana ilustrasi yang dipaparkan Taqiyyuddīn an-Nabhānī,

Pada saat itu terdapat para fuqahā’ jumud yang siap berfatwa dengan mengharamkan segala hal yang baru, dan mengkafirkan semua pemikir (intelektual).

Di antara keanehan yang terjadi menyangkut hal-hal yang dianggap lucu dan mengharukan, misalnya dengan munculnya (produk minuman) kopi susu, sebagian fuqahā’ menfatwakan keharamannya. Kemudian muncul rokok, lalu mereka menfatwakan keharamannya. Selanjutnya seseorang muncul menggunakan ṭarbūsy (fez, peci khas ‘Uṡmāniyyah), lalu para fuqahā’ menfatwakan keharamannya.

Berikutnya muncul percetakan dan negara berniat mencetak Alquran, tetapi sebagian fuqahā’ mengharamkan pencetakan Alquran. Lalu muncul telepon, tetapi sebagian fuqahā’ mengharamkan berbicara dan menggunakannya. Begitulah setiap kali perkara baru muncul, seperti itulah kelangsungannya, sehingga fiqh Islam berakhir dalam kondisi pembodohan yang benar-benar terjadi di kalangan kaum Muslim.

Setelah itu terjadi pemalingan dari kajian hukum-hukum syara’ kepada kajian perundang-undangan Barat. Perguruan-perguruan tinggi hukum didirikan, di mana fakultas-fakultasnya dijadikan patokan di negeri-negeri kaum Muslim, sebagai kebodohan yang telah mengungkung mereka di masa akhir Khilāfah ‘Uṡmāniyyah.[2]

Di antara rumusan terpenting yang lahir dari Renaissance adalah revisi total pada sistem politik, perundang-undangan, dan semua sistem kehidupan. Salah satu konsepsi politik yang lahir dari Renaissance Eropa adalah nasionalisme.

Tatkala genderang Revolusi Prancis bertalu-talu setelah kepala Raja Louis XVI dipancung pada tahun 1793, slogan “Kebebasan” (Liberté), “Persamaan” (Égalité), dan “Persaudaraan” (Fraternité) menjadi sangat populer di kalangan Eropa.

Slogan terakhir, Fraternité, mempunyai makna “persaudaraan” yang berbeda antara pengertian Eropa dan pengertian Islam.

Fraternité yang dimaksud konsepsi Eropa adalah persaudaraan atas dasar bahasa, ras, nasib, dan teritorial yang sama; dan inilah yang menjadi **ide dasar konsep nasionalisme. **

Sebagaimana yang dinyatakan Lewis, konsep ini sebelumnya tidak pernah dikenal di dunia Islam, di mana persaudaraan di dunia Islam lebih ditekankan atas dasar persamaan iman dalam komunitas religius, dikuatkan dengan ketaatan di bawah kekuasaan yang diakui secara umum oleh kaum Muslim.[3]

Segera saja setelah tahun 1800, makna persaudaraan (ukhuwwah) di tengah kaum Muslim mengalami distorsi dan lebih menyerupai konsepsi patriotik Prancis.[4]

Hal ini merupakan implikasi dari interaksi Barat dan Islam yang mulai deras melalui berbagai transmisi yang akan kita bahas di bab ini.

Distorsi makna persatuan dan persaudaraan di kalangan Muslim pada abad ke-19 ini mengakibatkan Pan-Islamisme mengalami perubahan makna.

Perkawinan “nasionalisme” yang berasal dari ide Barat dan “religius” yang berarti Islam, pada mulanya bertentangan dalam benak kaum Muslim.

Perjodohan keduanya yang dimulai semenjak abad ke-19 ini tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks global dan jiwa zaman (zeitgeist) yang berlaku kala itu, sebagaimana yang akan penulis paparkan di bawah ini.

Munculnya Nasionalisme di Tubuh Khilāfah ‘Uṡmāniyyah

1. Kasus Turki

Sebagai negara Islam yang menjadi tapal batas dengan Eropa, negara ‘Uṡmāniyyah sudah demikian akrab dengan peradaban Benua Biru tersebut semenjak awal negara ini berdiri.

Fatiḥ Sultan Meḥmet II (1432-1481) punya ketertarikan sendiri dengan Eropa. Fatiḥ mengundang pelukis Italia, Gentile Bellini, untuk melukis potret dirinya.[5]

Ia juga memerintahkan ilmuwan Byzantium, George Amirutzes untuk menerjemahkan Geograpia, ensiklopedi geografi karangan Ptolemus.[6]

Penaklukkan Suriah dan Mesir di masa Selim I (1470-1520) sudah menggunakan senapan bermuntahkan api hasil buah tangan Eropa di saat kaum Mamlūk masih menggunakan panah dan pedang.

Sampai masa Sultan Süleyman I, penyerapan teknologi militer Eropa oleh Khilāfah ‘Uṡmāniyyah belum menunjukkan inferioritas kaum Muslim karena mereka selalu memperoleh kemenangan dalam berperang.

Tapi tak selamanya kaum Muslim berada dalam posisi superior.

Kolonialisme yang Eropa lancarkan di banyak negeri membuat Eropa tertimpa durian runtuh alias kaya raya.

Penemuan emas dan perak di Amerika dan monopoli perdagangan di India, Asia Tenggara, Cina, hingga Jepang membuat negara-negara Eropa bisa menyokong industri militer hingga mampu membalap kaum Muslim dalam peperangan.[7]

Pasukan besar ‘Uṡmāniyyah yang dikirim ke Wina kalah di tahun 1683.

Perjanjian Karlowitz yang ditandatangani pada tahun 1699 menyebabkan lepasnya Hungaria dari wilayah kekuasaan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah.

Kekalahan yang berturut-turut ini menyebabkan para elite negara ‘Uṡmāniyyah penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dikirimlah duta-duta ke Eropa untuk mempelajari kemajuan di sana dari dekat.

Tahun 1720, Yirmisekiz Meḥmet Çelebi pergi ke Paris sebagai duta untuk meninjau kemajuan teknologi Prancis.

Ia menulis buku Sefaretnameh sebagai laporan perjalanannya, dan memaparkan tentang kemajuan teknik, organisasi angkatan perang modern, rumah-rumah sakit, observatorium, peraturan karantina, kebun binatang, adat-istiadat, dan sebagainya seperti yang ia lihat di Prancis.[8]

Laporan-laporan yang dipaparkan Meḥmet Çelebi menarik perhatian Sultan Aḥmet III (1703-1730) untuk memulai pembaharuan militer di Khilāfah ‘Uṡmāniyyah.

Pada 1716, Sultan Aḥmet III menjadikan ahli militer Prancis, De Rochefort, sebagai instruktur militer pasukan ‘Uṡmāniyyah.

Hal yang sama diulangi oleh Sultan Maḥmut I (1730-1754) yang menjadikan seorang Prancis, Alexandre de Bonneval, untuk menjadi instruktur militer.

De Bonneval yang kemudian masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Humbaracı Aḥmet Paşa mendirikan sekolah teknik militer walau pada akhirnya gagal karena ditentang oleh korps tentara Yeniçeri.[9]

Semua ini adalah ketertarikan para penguasa ‘Uṡmāniyyah kepada Eropa; namun terbatas hanya di aspek seni berperang dan ilmu-ilmu bumi yang semuanya bersifat fisik.

Pola yang berbeda mulai terlihat di tahun-tahun menjelang Revolusi Prancis. Khilāfah ‘Uṡmāniyyah tetap berusaha menjadikan orang-orang Prancis untuk melatih kekuatan militernya.

Pergantian ancien régime di dalam negeri Prancis tidak menghalangi Pemerintah ‘Uṡmāniyyah untuk meminta Prancis mengirimkan para ahlinya ke İstanbul.

Pada 1796, konsul Prancis untuk ‘Uṡmāniyyah, Aubert du Bayet, membawa ahli-ahli militer Prancis ke İstanbul.

Menurut Lewis, para ahli militer Prancis ini ternyata tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu perang, tapi mulai menyebarkan pemikiran-pemikiran khas Renaissance yang berintikan sekularisme (‘ilmāniyyah); ide pemisahan agama dari kehidupan (faṣl al-dīn ‘an al-ḥayāh).

Tentara-tentara muda ‘Uṡmāniyyah yang menjadi murid mereka akhirnya menjadi akrab dengan mentor-mentor Prancis ini, dan mulai mempelajari bahasa Prancis dan ideologi-ideologi Renaissance.

Buku-buku karangan Voltaire, Jean Jacques Rosseau, Montesquieu, dan pemikir-pemikir Renaissance lain mudah dijumpai di perpustakaan-perpustakaan sekolah militer ‘Uṡmāniyyah.[10]

Selain aparat militer, transmisi pemikiran Renaissance ke tubuh kaum Muslim juga datang melalui para konsul ‘Uṡmāniyyah yang ditempatkan di Eropa.

Salah satunya adalah Aḥmet Vefik Paşa, di mana kakek dan ayahnya juga pernah bekerja menjadi konsul di Paris.

Semenjak kecil, Vefik Paşa sudah akrab dengan orang-orang Eropa. Salah satunya adalah duta besar Inggris, Sir Henry Layard, yang menceritakan kepada kita bagaimana latar belakang intelektual Vefik Paşa.

Wawasannya mengenai penulis-penulis Inggris dan Prancis begitu luar biasa bagi mereka yang pernah mengecap pendidikan terbaik Eropa... Kita sama-sama membaca karya-karya klasik Inggris – di antaranya karangan-karangan Gibbon, Robertson, dan Hume – dan mempelajari politik ekonomi Adam Smith dan Ricardo...

Kita juga membuatnya membaca... drama-drama Shakespeare, yang ia mengerti dan apresiasi, serta novel-novelnya Dickens, yang begitu ia resapi maknanya... Dia sangat menyukai Pickwick dan karya Dickens lain yang baru terbit, dan jadi begitu tahu mengenai mereka, sehingga sudah menjadi kebiasaannya untuk mengutip karya mereka di kemudian hari...[11]

Vefik Paşa tekun mempelajari asal-usul masyarakat Turki sebelum era ‘Uṡmāniyyah.

Dia berhasil menerjemahkan manuskrip dari zaman dinasti Mongol Chagatay, Şecere-i Türki (Genealogi Bangsa Turki) serta menyusun kamus bahasa Turki yang berjudul Lehçe-i Osmani (Dialek ‘Uṡmāniyyah).

Vefik Paşa berhasil membuktikan bahwa bahasa dan bangsa “Turki” sudah jauh lebih tua daripada kekuasaan dinasti ‘Uṡmāniyyah.[12]

Sebelumnya, terminologi “Türk” ditujukan kepada suku-suku Turkoman atau petani-petani di Anatolia yang berbicara bahasa Turki.

Warga ‘Uṡmāniyyah sendiri menyebut diri mereka sebagai “Osmanlı” yang berarti “warga di bawah otoritas dinasti ‘Uṡmāniyyah.”

Kata “Türk” mempunyai konotasi negatif di kalangan elite ‘Uṡmāniyyah dan dijadikan sebagai ungkapan untuk menyebut sesuatu yang dianggap kampungan.

Apabila mereka mengucapkan “Türk kafa!”, maksudnya adalah “dasar kepala Turki!” atau “dasar bodoh!”.

Masyarakat Arab yang menjadi warga ‘Uṡmāniyyah sendiri menyebut area yang kita kenal sebagai Turki sekarang dengan sebutan “Rūm”, atau Romawi.

Ketika mereka menyebut “Rūmī”, artinya adalah “seseorang yang berasal dari Anatolia,” atau seorang ‘Uṡmāniyyah.[13] Penyebutan “Rūmī” untuk orang ‘Uṡmāniyyah juga berlaku di kawasan Asia Tenggara.

Langkah nativisasi yang Vefik Paşa gencarkan, bahwa sejatinya asal-usul orang ‘Uṡmāniyyah adalah bangsa Turki kuno yang lahir di Asia Tengah, menjadikan persepsi warga ‘Uṡmāniyyah terhadap istilah “Turki” berubah.

Süleyman Hüsnü Paşa, pengarang buku Ṣarf-i Türki (Tata Bahasa Turki) menyatakan terang-terangan, bahwa “keliru jika menyebut ‘literatur ‘Uṡmāniyyah’, sebagaimana kita keliru menyebut bahasa kita sebagai ‘bahasa ‘Uṡmāniyyah’ dan bangsa kita sebagai ‘bangsa ‘Uṡmāniyyah.’

Istilah ‘‘Uṡmāniyyah’ hanyalah nama untuk negara kita, sementara bangsa kita adalah ‘bangsa Turki.’ Jadi, bahasa kita adalah ‘bahasa Turki’ dan literatur kita adalah ‘literatur Turki.’”[14]

Hal ini menjadi cikal bakal pengukuhan “ke-Turki-an” sebagai sebuah identitas yang berbeda dengan “‘Uṡmāniyyah”.

Pengukuhan identitas yang menekankan sisi etnisitas ini kelak menjadi cikal bakal nasionalisme Turki.

Tokoh penting yang tak luput untuk disebutkan di sini adalah Muṣṭafa Reşit Paşa, konsul ‘Uṡmāniyyah di Paris dan London pada tahun 1830-an.

Dengan penguasaan bahasa Prancis yang mantap, dirinya begitu tekun mempelajari literatur-literatur politik Eropa.

Cita-citanya adalah menjadikan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah sebagai negara modern yang bersistemkan konstitusionalisme dan berasaskan prinsip kesetaraan (égalité) bagi seluruh warga negara.[15]

Dengan mengacu kepada teori Social Contract yang ditandaskan Rousseau, Reşit Paşa berpandangan bahwa negara ideal adalah negara yang menyerahkan kedaulatan hukum kepada rakyat.

Tidak ada lagi istilah regis voluntas suprema lex (kedaulatan hukum di tangan raja). Rakyat harus dibebaskan dari belenggu otoritas raja yang selalu mendapat sokongan dari gereja/agamawan.

Persatuan di kalangan rakyat bukan lagi berdasarkan keturunan atau agama.

Persatuan itu diikat dari beban sepenanggungan yang sama atas tanah air (vaderland) yang mereka tinggali. Perbedaan bahasa dan agama di kalangan rakyat tidak menjadi penghalang untuk mengabdi kepada tanah air.[16]

Konsep ini melahirkan sebuah paham yang kelak disebut ‘Usmānisme (Osmanlılık, Ottomanism), yakni penyatuan identitas rakyat yang berbeda etnis dan agama dalam satu payung kekuasaan yang sama: ‘Usmāniyyah.

Menurut seorang intelektual nasionalis Turki, Yusuf Akçura, ‘Usmānisme menginginkan perbedaan agama di kalangan rakyat hanya terlihat ketika mereka memasuki tempat ibadahnya masing-masing. Adapun di lingkup sosial, maka mereka semua sama.[17]

Hal ini mempunyai makna bahwa hukum Islam bukan lagi menjadi hukum publik, melainkan hanya sebagai hukum privat masing-masing pemeluknya.

Untuk merealisasikan konsep ‘Usmānisme, Reşit Paşa mendukung pengesahan Piagam Gülhane oleh Sultan Abdülmecit I pada 1839, yang menandakan dimulainya *era Tanẓimat. *

Dalam Piagam Gülhane, semua warga negara Sultan akan diberikan ketentuan yang sama apapun agamanya.[18] Pendidikan umum dilepaskan dari otoritas kaum ulama dan diserahkan kepada Kementerian Pendidikan yang dibentuk pada tahun 1847.[19]

Beberapa tahun berikutnya, yakni di tahun 1856, diumumkan lagi piagam baru yang lebih ekstrim, Piagam Humayun.

Dalam piagam ini, kedudukan warga non-Muslim benar-benar disetarakan dengan warga Muslim. Kebebasan beragama dijamin dan paksaan untuk merubah agama dilarang.

Warga non-Muslim diperbolehkan untuk masuk dinas militer. Cizye (Ar. jizyah), pajak khusus untuk warga non-Muslim dihapuskan.

Hukuman mati kepada orang murtad yang berlandaskan hadis Nabi ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam, “siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam), maka bunuhlah ia” (man baddala dīnahu faqtulūhu),[20] dalam piagam yang baru ini turut dihapuskan.[21]

Begitulah kita mendapati bahwa cinta tanah air (vaṭan) begitu ditekankan oleh rezim Tanẓimat kepada warga ‘Usmāniyyah apapun kelompok agamanya (millet).

Berkat Revolusi Prancis, kata vaṭan dan millet di kalangan warga ‘Usmāniyyah mempunyai makna baru yang berbeda dari sebelumnya. Kata vaṭan dalam bahasa Turki ‘Uṡmānī berasal dari bahasa Arab waṭan, yang berarti tanah air.

Sebelum tahun 1800, kata vaṭan secara sederhana dimaknai sebagai tempat lahir seseorang, entah itu berskala negara, provinsi, kota, atau desa, sesuai dengan konteksnya.

Namun dalam pengaruh patriotisme Revolusi Prancis, kata vaṭan mengandung pemaknaan “loyalitas” kepada tanah air.

Ketika Ali Efendi, Duta Besar ‘Usmāniyyah untuk Prancis, menjelaskan tentang kebijakan Prancis dalam penanganan tentara yang cacat karena terluka dalam perang, ia menyebut tentara-tentara tersebut dengan ungkapan: “...dalam rangka membela Republik dan semangat membela vaṭan mereka”, sebuah ungkapan yang baru di zaman itu.[22]

Kecintaan kepada vaṭan mulai diasosiasikan dengan kecintaan kepada agama. Walhasil, vaṭan menjadi tema populer dalam literatur ‘Usmāniyyah sepanjang abad ke-19.

Sebagai contoh, Namıḳ Kemal (1840-1888), penyair terkenal saat itu menulis banyak sekali karangan yang berlandaskan ide patriotisme vaṭan.

Dalam salah satu karyanya, Vaṭan yahut Silistre (Tanah Air atau Silistra // sebuah kota di Bulgaria), Namıḳ Kemal sangat menekankan kecintaan kepada tanah air di atas segala-galanya.[23]

Begitu juga kata millet yang berasal dari bahasa Arab, millah, yang berarti kelompok agama.[24]

Millah berasal dari terminologi yang Allah gunakan dalam Alquran sebagai sinonim dari istilah agama (dīn).

Oleh Pemerintahan ‘Usmāniyyah di era Tanẓimat, millet dijadikan sebuah sistem untuk mengelompokkan minoritas pemeluk agama non-Muslim.

Ada tiga millet yang diakui; Kristen Yunani, Kristen Armenia, dan Yahudi. Masing-masing millet diberi kebebasan untuk mengatur pemeluk agamanya masing-masing. Pendidikan anak-anak mereka dipisahkan dari pendidikan kaum Muslim, dan diberi pengajaran berdasarkan bahasanya masing-masing.[25]

Ironisnya, millet-millet ini dijadikan celah oleh Barat untuk memecah belah antara warga Muslim dan non-Muslim di tengah-tengah rakyat ‘Usmāniyyah.[26]

Rival Khilāfah ‘Usmāniyyah, Kekaisaran Rusia yang memeluk Kristen Ortodoks, menganggap dirinya sebagai reinkarnasi dari Kerajaan Suci Romawi (Holy Roman Empire).

Moskow bisa saja bernasib sama dengan Konstantinopel yang ditaklukkan Islam jika Kekaisaran Rusia mengabaikan agama Kristen Ortodoks.

Oleh karena itu, Ratu Rusia, Catherine II (1729-1796) menggencarkan identitas Kristen Ortodoks sebagai identitas negaranya dan berniat untuk menjadi pelindung para pemeluk Kristen Ortodoks di seluruh dunia.[27]

Catherine mengundang warga ‘Usmāniyyah yang beragama Kristen Ortodoks di Yunani dan Armenia untuk tinggal di wilayah Rusia. Banyak dari mereka yang akhirnya memenuhi undangan Ratu Catherine ini.

Para pencetus nasionalisme Armenia dan Yunani kelak, seperti Mikayel Nalbandian misalnya, banyak berasal dari warga ‘Usmāniyyah pemeluk Kristen Ortodoks yang pindah ke Rusia.[28]

Para pemeluk millet Kristen Yunani dan Kristen Armenia diajarkan bahwa mereka memiliki sejarah yang berbeda dengan Khilāfah ‘Usmāniyyah. Orang Yunani dan Armenia diingatkan kembali akan kemegahan masa lalu mereka di masa Imperium Hellenik Alexander Agung (356-323 SM) dan kuasa Kristen Ortodoks yang jaya di bawah Romawi Byzantium.[29]

Nativisasi etnis Yunani dan Armenia makin menjadi-jadi dengan kuatnya pengaruh Revolusi Prancis yang mengajarkan kebebasan untuk mengatur diri sendiri (individualisme).

Kata millet yang berarti kelompok agama tertentu, dengan pengaruh etnisitas yang kuat, akhirnya diterjemahkan menjadi bangsa (nation), dan menjadi asas bagi ide kebangsaan (nationalism).

Millet yang didasari oleh religio-etnisitas ini menyebabkan para pemeluk millet tersebut memandang orang Muslim bukan bagian dari bangsa mereka, walaupun mereka menggunakan bahasa yang sama.[30]

Sistem millet yang dijalankan oleh reformasi Tanẓimat, bukannya memperkuat konsep ‘Uṡmānisme, malah memperkuat sentimen nasionalisme bagi millet-millet yang ada, dan ujungnya menjadi gerakan separatis yang membahayakan integrasi Khilāfah ‘Usmāniyyah.

Hal ini tercermin dari pernyataan Patriak Armenia, Nerses Varjabedyan, ketika menjelaskan posisi millet Armenia kepada Menteri Luar Negeri Inggris, Lord Salisbury pada 13 April 1878,

Sudah tidak mungkin bagi orang Armenia dan Turki untuk hidup bersama. Hanya peraturan Kristen-lah yang bisa menjamin persamaan (equality), keadilan (justice), dan kebebasan berekspresi (freedom of conscience). Peraturan Kristen harus menggantikan peraturan Islam. Armenia (Anatolia Timur) dan Kilikya adalah wilayah yang harus ditegakkan peraturan Kristen.[31]

‘Uṡmānisme yang gagal meraih cita-citanya untuk mempersatukan rakyat yang multi-etnis di dalam negeri Khilāfah ‘Usmāniyyah membuat para pengusungnya mencari bentuk lain untuk memperkuat keutuhan negara. Mereka mulai memalingkan muka kepada nasionalisme Turki.[32]

Salah seorang pelopornya, Ziya Gökalp (1876-1924), mengukuhkan prinsip “Türkleşmek, Islamlaşmak, Muaṣirlaşmak” (menjadi Turki, Muslim, dan Modernis) sebagai motto nasionalisme Turki.[33]

Baginya, seorang Turki harus menjadikan Barat sebagai standar pencapaian material dan metode saintifik, sementara Islam cukup sekedar diimani tanpa menjadikannya sebagai sistem politik, hukum, dan tradisi sosial.[34]

Ancaman disintegrasi Khilāfah ‘Usmāniyyah tidak hanya berasal dari millet non-Muslim di Yunani dan wilayah Balkan, tapi juga dari bangsa Arab.

Kekalahan berturut-turut dari negara-negara Eropa menyebabkan Pemerintahan ‘Usmāniyyah kehilangan wibawa dan kepercayaan dari masyarakat Arab.

Benih-benih pemberontakan muncul sepanjang abad ke-18 dari pemimpin-pemimpin lokal seperti keluarga Syihābiyyūn di Pegunungan Lebanon, keluarga al-‘Aẓm di Damaskus, dan keluarga al-Jalīlī di Mosul.

Mereka adalah keluarga bangsawan yang menguasai kota-kota tersebut, dan motif pemberontakkannya kepada İstanbul hanya didasari ambisi dan kepentingan keluarga.

Pemberontakan yang muncul dari aliansi keturunan Muḥammad b. Sa’ūd dan Muḥammad b. ‘Abd al-Wahhāb di Najd, Arab Tengah, jauh lebih mengancam Pemerintahan ‘Usmāniyyah karena berkaitan dengan kedudukan dua tanah suci, Makkah dan Madinah, dan gangguan pasukan Wahhābī kepada para jamaah haji.[35]

Tapi yang menjadikan telinga warga Turki ‘Usmāniyyah panas dan mulai bangkit sentimen kebangsaannya adalah seruan nasionalisme Arab yang juga muncul pasca-Revolusi Prancis.

Para nasionalis Arab mulai mempertanyakan kepemimpinan bangsa Turki atas dunia Islam. Menurut mereka Turki telah merampas Khilāfah dari tangan orang Arab. Turki juga dituduh telah melanggar syariat Islam yang mulia dan melanggar batas-batas agama.[36]

Para nasionalis Turki pun membalas tuduhan orang-orang Arab.

Mereka mempropagandakan kehebatan bangsa Turki untuk memperkukuh hegemoni kekuasaannya atas kaum Muslim non-Turki. Para sejarawan Turki generasi baru ini membanding-bandingkan peran bangsa Arab dan bangsa Turki dalam sejarah Islam, dan menyatakan bahwa “mereka yang berjuang untuk membela Islam selama 700 atau 800 tahun bukanlah orang Arab, melainkan Turki.”[37]

2. Arab-Mesir

Pada awalnya, bangsa Arab tidak terlalu mempermasalahkan kepemimpinan Khilāfah ‘Usmāniyyah yang berbangsa Turki atas mereka. Mereka mendoakan sultan-sultan ‘Usmāniyyah dalam khutbah Jumat dan turut bergabung dalam berbagai peperangan yang dikomando oleh Khalīfah di İstanbul.

Masyarakat Arab yang rata-rata terdiri dari para petani, pedagang, dan perajin ini menyatakan kesetiaan mereka kepada Pemerintahan ‘Usmāniyyah. Sebagai timbal balik, Khilāfah ‘Uṡmāniyyah memberikan keamanan pada jiwa dan properti mereka, serta penjagaan atas nilai dan hukum-hukum Islam.[38]

Sampai suatu ketika, masyarakat Arab menjadi saksi atas satu peristiwa penting yang menjadi turning-point pemikiran umum di dunia Arab-Islam.

Pada 1 Juli 1798, warga Mesir di pesisir kota Alexandria tersentak ketika bangun di pagi hari, tatkala mendapati pelabuhan kota tersebut telah dijejali oleh puluhan armada dan ribuan pasukan Prancis yang siap tempur.

Pasukan yang dipimpin langsung oleh Napoleon Bonaparte ini menjadi pasukan Eropa pertama yang menginjakkan kaki di Timur Tengah semenjak masa Perang Salib.

Hanya dalam beberapa jam saja, Alexandria dapat ditundukkan oleh Prancis, dan mereka segera bersiap untuk menginvasi Kairo.[39] Ketika pasukan Prancis sudah sampai di dekat Piramida di Kairo pada 21 Juli, pasukan berkuda Mamlūk datang menghadang, dipimpin oleh Murād Bey dan Ibrāhīm Bey.[40]

Hanya dalam waktu dua jam, pasukan Mamlūk yang masih bersenjatakan pedang sudah keburu di-dor oleh pasukan Prancis yang berformasi ketat dan bersenapan, hingga Mamlūk mengalami kerugian dengan kematian 10.000 pasukannya, sementara di pihak Prancis hanya 29 orang yang tewas, sementara 260 orang lain luka-luka. Begitu jomplang perbedaan kekuatan antara Prancis dan Mamlūk.[41]

Setelah mengamankan Kairo dari segala anasir perlawanan, Napoleon segera menempatkan administrasi pemerintahan Mesir di bawah sembilan Syaykh dan Paşa yang dikendalikan seorang Komisioner Prancis.

Di hadapan penduduk Mesir, Napoleon mencitrakan dirinya sebagai “sahabat Islam.”

Seorang ulama al-Azhar dan sejarawan Mesir terkenal, ‘Abd al-Raḥmān al-Jabartī(1754-1824), yang menjadi saksi hidup atas peristiwa tersebut mencatat, bahwa Napoleon mencetak dan menyebarluaskan maklumat-maklumat berbahasa Arab kepada penduduk Mesir. Maklumat-maklumat tersebut ditulis oleh para ilmuwan dan orientalis Prancis yang turut serta dibawa Napoleon.

Napoleon memulai maklumatnya tersebut “dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tiada sesembahan selain Allah, Dia tidak beranak dan tiada pula mempunyai sekutu dalam kekuasaan-Nya” (bismillāh al-raḥmān al-raḥīm, lā ilāha illā Allāh, lā walida lahu wa lā syarīka lahu fī mulkihi).

Dia menyatakan bahwa dirinya dan pasukannya berasal dari bangsa Prancis (millah al-Faransāwiyyah) yang negaranya ditegakkan atas asas kebebasan (al-ḥurriyyah) dan kesetaraan (al-taswiyyah).

Tujuan mereka datang ke Mesir adalah untuk membebaskan negeri yang berperadaban agung nan strategis lokasinya ini dari “kezaliman dan ketamakan Mamlūk” (al-ẓulm wa al-ṭama’ min al-Mamālik).

Napoleon meminta agar para tokoh terpandang di Mesir memberi tahu orang-orang Mesir bahwa sesungguhnya bangsa Prancis adalah kaum Muslim juga (qūlū li ummatikum inna al-Faransāwiyyah hum ayḍan muslimūna mukhliṣūn), di mana mereka telah “menghancurkan singgasana Paus yang selalu menghasut kaum Kristen agar memerangi Islam” (kharibū kursiyy al-Bābā al-lażī kāna dā’iman yaḥuṡṡu al-Naṣārā ‘alā muḥārabah al-Islām).

Dalam maklumatnya, Napoleon menyatakan bahwa Prancis senantiasa menjadi “pecinta yang tulus” (muḥibbīna mukhliṣīn) bagi kekuasaan para khalīfah ‘Uṡmāniyyah dan memusuhi siapa saja yang memusuhinya, termasuk “Mamlūk yang pura-pura taat” kepada ‘Uṡmāniyyah “hanya untuk ketamakannya sendiri.”

Napoleon menutup maklumatnya itu dengan “mengucap syukur kepada Allah” dan menyerukan:

Semoga Allah mengekalkan keagungan Sultan ‘Uṡmāniyyah!
Semoga Allah mengekalkan keagungan pasukan Prancis!
Semoga Allah melaknat kaum Mamlūk!
Dan semoga Dia memperbaiki keadaan “umat Mesir” (wa aṣlaḥa ḥāl al-ummah al-Miṣriyyah).[42]

Apa yang diucapkan Napoleon ini hanyalah sekedar kedok untuk merebut hati rakyat Mesir dan memalingkannya dari pengaruh Inggris yang bercokol di Laut Mediterania dan Laut Merah.

Untuk menguatkan kepentingannya ini, ia turut membawa para cendekia dan ilmuwan Prancis dalam rangka menyebarkan teknologi mutakhir Revolusi Industri dan pemikiran Revolusi Prancis kepada penduduk Mesir.[43]

Napoleon membangun Institut d’Égypte, institusi ilmiah yang memiliki empat jurusan; matematika, fisika, politik ekonomi, serta literatur dan seni.[44] Masyarakat Mesir banyak yang mendatangi institut Prancis ini, salah satunya adalah sejarawan al-Jabartī.

Satu ketika, seorang ilmuwan Prancis, Monsieur Bertholet, mengadakan sebuah demonstrasi eksperimen kimia. Al-Jabartī yang menyaksikan eksperimen itu menuliskan apa yang ia saksikan.

“Salah satu hal teraneh yang pernah aku lihat (di institut Prancis) adalah sebagai berikut,” tulis al-Jabartī. “Salah seorang asisten mengambil botol berisi cairan yang telah disuling dan menuangkannya sedikit ke sebuah wadah. Kemudian ia menuangkan cairan dari botol lain. Kedua cairan itu kemudian mendidih dan mengeluarkan asap merah. Ketika berhenti, isi dari wadah tersebut mengering dan berubah menjadi sebuah batu kuning.”

Eksperimen perubahan wujud benda cair ke benda padat ini diikuti dengan percobaan kimiawi lain yang menimbulkan “suara gaduh menakutkan seperti suara tembakan senapan.” Al-Jabartī jengkel sekali melihat ilmuwan Prancis tersebut gembira tatkala melihat dia dan orang-orang Mesir lainnya kaget ketakutan.[45]

Selain teknologi ilmiah ala Revolusi Industri, Napoleon juga memperkenalkan pemikiran-pemikiran politik ala Revolusi Prancis.

Dalam maklumat-maklumat Napoleon yang disebarkan di Mesir, “Republik Prancis” diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi “al-Jumhūr al-Faransāwī”. Kata al-jumhūr berarti “orang banyak”, di mana ia menjadi sumber kedaulatan hukum dalam sistem Republik (jumhūriyyah).

Dalam sistem ini, kepala negara dipilih untuk waktu tertentu dan tunduk kepada undang-undang yang bersumber dari kedaulatan rakyat.[46] Sistem ini berlainan sekali dengan sistem pemerintahan Islam, yang tidak menetapkan rentang waktu kekuasaan seorang kepala negara.[47]

Sistem pemerintahan Islam juga menetapkan bahwasanya kedaulatan hukum ada di tangan Allah, bukan di tangan rakyat.[48]

Maklumat-maklumat Napoleon juga menyebarkan ide kebangsaan (nationalism), di mana kata bangsa (nation) mereka terjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi “ummah” dan “millah”.

Untuk mengukuhkan kekuasaan bangsa Prancis (al-millah al-Faransāwiyyah), Napoleon mendiskreditkan kaum Mamlūk sebagai orang asing yang datang dari Kaukasus untuk mengatur dan berbuat semena-mena kepada “umat Mesir” (al-ummah al-Miṣriyyah).[49]

Padahal bagi kaum Muslim, yang ada hanyalah “umat Islam” (al-ummah al-Islāmiyyah).

Penyandaran kata “ummah” kepada “bangsa Mesir” yang dilakukan Napoleon inilah yang kemudian merancukan makna “ummah di tengah masyarakat Mesir yang kemudian meluas ke seluruh penjuru dunia Islam.

Apapun kebangsaannya, tiap orang Islam adalah saudara dan mereka tidak begitu mementingkan perbedaan bangsa dan etnisitasnya. Dengan maklumat ini, Napoleon berusaha membangkitkan patriotisme dan fanatisme kebangsaan orang Mesir dengan mengungkit perbedaan kebangsaan mereka dengan kaum Mamlūk.[50]

Walaupun beberapa pertunjukkan ilmiah dan pemikiran Prancis cukup membuat rakyat Mesir kagum, tetap saja mereka gagal untuk merebut hati rakyat Mesir.

Napoleon kembali ke Prancis pada tahun 1799 dan menempatkan perwakilannya di Mesir. Inggris segera memblokade 20.000 pasukan Prancis yang ditinggalkan di Mesir ini sehingga mereka terputus komunikasinya dengan Napoleon.

Misi mereka di Mesir menjadi tidak jelas, dan banyak dari tentara Prancis ini yang menderita sakit kangen-rumah dan akhirnya menjadi frustasi.[51] Sebagian lagi malah menjadi betah tinggal di Mesir.

Banyak dari mereka yang masuk Islam dan menikahi wanita-wanita Mesir. Kekuasaan Prancis di Mesir hanya berjalan selama tiga tahun.

Walau demikian, menurut Rogan, meski ekspedisi Prancis di Mesir gagal, tetap saja peristiwa ini menjadikan kaum Muslim di Mesir sadar, bahwa superioritas peradaban mereka telah runtuh ketika melihat ide-ide dan teknologi Prancis lebih unggul dari apa yang kaum Muslim punya saat itu.[52]

Ketika Mesir dalam kondisi vakum kekuasaan pasca-hengkangnya Prancis, Pemerintahan ‘Uṡmāniyyah menempatkan Hurşit Aḥmet Paşa sebagai gubernur untuk Mesir. Namun kepemimpinannya tidak disukai orang-orang Mesir.

Mereka mengusung seorang figur militer ‘Uṡmāniyyah kelahiran Albania yang berpengaruh di Mesir untuk menjadi gubernur mereka. Orang ini bernama Muḥammad ‘Alī Paşa (1770-1849). Setelah Hurşit Aḥmet Paşa berhasil didesak untuk mundur, Muḥammad ‘Alī dikukuhkan menjadi gubernur Mesir pada tahun 1805.[53]

Menyitir perkataan Arnold Toynbee, bahwasanya Muḥammad ‘Alī adalah orang yang secara sistematis telah membuat kehidupan penduduk Mesir menjadi kebarat-baratan.[54] Muḥammad ‘Alī begitu kagum dengan peradaban Eropa yang maju berkat keunggulan industri dan pemikiran yang revolusioner.

Ia menjalin hubungan dekat dengan para cendekiawan Mesir yang dahulu sering menimba ilmu di Institut d’Égypte buatan Napoleon. Salah satunya adalah seorang ulama al-Azhar yang bernama Ḥasan al-‘Aṭṭār (1766-1835).[55]

Dalam pandangan al-‘Aṭṭār, negeri Mesir harus merubah kondisinya dan pengetahuan-pengetahuan yang ada di dalamnya juga harus berubah dan berganti dengan sesuatu yang baru.

Perubahan yang ia maksudkan adalah perubahan total pada budaya Eropa setelah para ulama dan syaykh – dalam pandangannya – gagal untuk melanjutkan usaha keras kaum Muslim di masa lampau.[56]

Bagaimanapun terinspirasinya Muḥammad ‘Alī dengan peradaban Eropa, ia lebih mengambil keunggulan Eropa dari sisi militer ketimbang sistem politiknya. Tatkala Muḥammad ‘Alī diberitahu tentang karya Niccolò Machiavelli yang berjudul Il Principe (Sang Pangeran), ia menyuruh menterinya yang beragama Kristen, Artin, untuk menerjemahkan buku tersebut.

Beberapa hari berselang, Muḥammad ‘Alī berkata kepada Artin,

"Engkau telah menerjemahkan 40 lembar dari buku itu, tetapi bagiku ia tak mengandung sesuatu yang baru. Semuanya adalah hal-hal yang biasa. Machiavelli tak membawa hal-hal baru yang dapat saya pelajari. Pengetahuan saya tentang tipu muslihat pemerintahan lebih banyak dari pengetahuannya. Buku itu tak perlu engkau terjemahkan lagi."

Hal ini memberi gambaran tentang apa yang dikehendaki Muḥammad ‘Alī sebenarnya, yakni pengetahuan tentang soal-soal pemerintahan, militer, perekonomian; segala hal yang akan memperkuat kedudukannya.[57] Ia lebih tertarik kepada buku-buku biografi Napoleon dan bagaimana seni memerintah dan berperang Kaisar Prancis tersebut.

Sebuah manuskrip kitab Muqaddimah karya Ibn Khaldūn juga dibawa dari Afrika Utara dan ia suruh terjemahkan ke dalam bahasa Turki.[58] Muḥammad ‘Alī banyak mengirim anak muda Mesir ke Eropa untuk belajar di sana,[59] namun mereka diawasi dengan ketat dan tidak diberi kemerdekaan bergerak di Eropa.

Tetapi, dengan mengetahui bahasa-bahasa Eropa – terutama Prancis, dan membaca buku-buku Barat seperti karangan Voltaire, Rousseau, Montesquieu, dan lain-lain; terbetiklah ide-ide baru di kalangan pelajar ini mengenai demokrasi, parlemen, pemilihan wakil rakyat, paham pemerintahan republik, konstitusi, kemerdekaan berpikir, patriotisme, nasionalisme, dan lain-lain; di samping ilmu-ilmu teknik, filsafat, pendidikan, alam (paham evolusi Darwin), humaniora, dan sebagainya.[60]

Salah seorang anak muda Mesir yang pergi ke Eropa dan kemudian menjadi sangat berpengaruh dengan oleh-oleh pemikiran yang ia bawa dari sana adalah Rifā’ah Rāfi’ al-Ṭahṭāwī (1801-1873).

Al-Ṭahṭāwī merupakan salah satu murid kesayangan Ḥasan al-‘Aṭṭār selama ia belajar di al-Azhar. Al-‘Aṭṭār melihat bahwa al-Ṭahṭāwī adalah seorang pelajar yang sungguh-sungguh dan tajam pikirannya, dan oleh karena itu ia selalu memberi dorongan kepadanya untuk senantiasa menambah ilmu pengetahuan.

Pada bulan April 1826, al-Ṭahṭāwī pergi ke Prancis untuk menjadi imam bagi para pelajar yang dikirim Muḥammad ‘Alī ke Paris.[61] Ia tinggal di sana selama lima tahun, dan atas pengaruh ajaran al-‘Aṭṭār, masa itu tidak dipergunakannya untuk pekerjaan semata sebagai imam, tapi ia turut mempelajari literatur-literatur Prancis dengan tekun.[62]

Al-Ṭahṭāwī begitu kagum dengan kemajuan peradaban Eropa yang ia saksikan di Prancis, sehingga dirinya menerjemahkan seluruh draf Konstitusi Prancis tahun 1814, Charte constitutionelle, ke dalam bahasa Arab dan diberi analisis di tiap-tiap pasalnya.

Baginya, konstitusi ini merupakan sebuah panasea untuk Mesir, dan ia menganjurkan penerapannya agar “kalian bisa melihat bagaimana para penguasa dan rakyatnya (dengan konstitusi ini) menjadikan negeri mereka makmur, ilmu pengetahuan meningkat, kekayaan mereka bertambah dan hati mereka puas.”[63]

Pemikiran Revolusi Prancis punya pengaruh permanen dalam diri Rifā’ah al-Ṭahṭāwī. Ia banyak menulis tentang pengalaman dan pemikiran yang ia dapatkan di Prancis dalam bahasa Arab dan Turki untuk diperkenalkan di tengah khalayak masyarakat ‘Uṡmāniyyah Mesir.

Dalam bukunya Takhlīṡ al-Ibrīz fī Talkhīṡ Bārīz (Intisari dari Kesimpulan Tentang Paris), al-Ṭahṭāwī menceritakan kesan-kesannya selama tinggal di Paris, di samping juga membeberkan sistem pemerintahan dan adat istiadat Eropa. Karena pentingnya arti buku ini untuk mengetahui kemajuan Eropa bagi orang Islam saat itu, Muḥammad ‘Alī menganjurkan agar pegawai-pegawai pemerintahan membaca buku tersebut.[64]

Al-Ṭahṭāwī diangkat oleh Muḥammad ‘Alī Paşa untuk mengepalai sebuah biro penerjemahan di Sekolah Bahasa-Bahasa Asing yang didirikan pada 1836. Biro ini berhasil menerjemahkan ribuan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Arab dan Turki yang kemudian memenuhi toko-toko buku di Mesir.[65]

Al-Ṭahṭāwī sendiri berhasil menerjemahkan sekitar 20 buku seputar geografi, sejarah, dan teknik militer sebagai permintaan langsung dari Muḥammad ‘Alī. Sang Paşa Mesir ini begitu terobsesi dengan riwayat penguasa dan jenius-jenius perang Eropa.

Al-Ṭahṭāwī menerjemahkan untuknya biografi Kaisar Peter Agung dari Rusia karangan Voltaire, biografi Kaisar Romawi Suci Charles V karangan William Robertson, dan tulisan Montesquieu yang berjudul Considérations sur les Causes de la Grandeur des Romains et de leur Décande (Pandangan Tentang Sebab-Sebab Bangkit dan Runtuhnya Roma).

Pilihannya untuk menerjemahkan karya Montesquieu ini bukanlah permintaan dari Muḥammad ‘Alī, melainkan inisiatif pribadi al-Ṭahṭāwī, yang ingin menunjukkan kepada bos-nya bahwa “keutamaan politik sebuah negara republik terletak pada rasa cintanya terhadap tanah air” (la vertu politique dans la république was ‘l’amour de la patrie’).[66]

Al-Ṭahṭāwī menulis pula al-Mursyīd al-Amīn li al-Banāt wa al-Banīn (Petunjuk Bagi Pendidikan Putra dan Putri), di mana di dalamnya ia menjelaskan arti penting pendidikan yang bersifat universal dan sama bentuknya untuk semua golongan.

Menurut al-Ṭahṭāwī, tujuan pendidikan bukanlah hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi terutama untuk membentuk kepribadian dan menanamkan rasa cinta tanah air (ḥubb al-waṭan).[67] Di sini, kata waṭan dan ḥubb al-waṭan digunakan berulang kali dengan pemaknaan yang berbeda dari yang dipahami kaum Muslim sebelumnya tentang arti kata waṭan

Dahulu, kaum Muslim menganggap bahwa seluruh negeri Islam (dār al-Islām) adalah tanah air (waṭan) mereka. Apabila seorang Muslim yang berpindah dari satu negeri ke negeri lain, mulai dari ujung timur hingga ujung barat, dalam wilayah yang diperintah oleh Islam, maka dia tidak ditanya tentang asal negerinya, juga tidak ditanya izin perjalanan baginya, karena negeri-negeri Islam adalah satu.[68]

Hal ini diekspresikan oleh penyair kenamaan Pakistan, Sir Muhammad Iqbal (1877-1938) yang mengutarakan bahwa: “Cina dan Arab adalah milik kita, Hindustan adalah milik kita / kita adalah Muslim, dan seluruh dunia adalah tanah air kita” (chīn-o-‘arab hamārā, hindūstāñ hamārā / muslim haiñ ham, vaṭan hai sārā jahāñ hamārā).[69]

Dengan pemahaman waṭan yang al-Ṭahṭāwī bawa, persepsi “tanah air” di kalangan kaum Muslim mulai berubah. Tanah air sekarang ditekankan artinya pada tanah tumpah darah seseorang dan bukan seluruh dunia Islam.

Sebagai seorang yang lahir dan mati di Mesir, tentu saja waṭan yang dimaksud al-Ṭahṭāwī adalah Mesir, dan di sini Nasution menjelaskan lebih lanjut kepada kita bahwa,

"Dalam buku lain yang mengandung sejarah Mesir semenjak masa Fir’aun, al-Ṭahṭāwī memperlihatkan kebanggaannya akan peradaban dan kemajuan ekonomi Mesir di zaman Fir’aun. Mesir modern adalah lanjutan dari Mesir zaman Fir’aun, dan karena itu ia tak enggan menulis syair-syair yang memuji Fir’aun. Mesir modern betul Islam, tapi tidak semua putra Mesir beragama Islam. Orang-orang yang bukan beragama Islam harus diberi kemerdekaan beragama, dan Mesir Islam dan Mesir bukan Islam adalah bersaudara.[70]

Jadi ada dua persaudaraan dalam pandangan al-Ṭahṭāwī; persaudaraan Islam (ukhuwwah al-Islāmiyyah) dan persaudaraan setanah air (ukhuwwah al-waṭaniyyah).[71]

Sesungguhnya ia mengakui ukhuwwah al-Islāmiyyah yang berlandaskan kepada hadis Nabi ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam, “seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya” (al-muslim akhū al-muslim).

Namun al-Ṭahṭāwī menganggap bahwa ukhuwwah al-waṭaniyyah lebih tinggi kedudukannya dari ukhuwwah al-Islāmiyyah. Walaupun berbeda agama, penduduk Mesir yang Muslim dan non-Muslim tinggal dan saling berbagi di tanah air yang sama. Untuk itulah mereka harus bekerja sama demi kemakmuran tanah air yang sama-sama mereka tinggali.[72]

Jadi di mata al-Ṭahṭāwī, pengabdian kepada tanah air lebih tinggi nilainya ketimbang pengabdian kepada agama.

Dari eksplanasi sejarah masuk dan berkembangnya ide nasionalisme ke dunia Islam yang kita bahas di atas, kita dapati bahwa ide ini benar-benar baru bagi kaum Muslim.

Paham nasionalisme terlahir dari rahim Eropa, dan mengalami lompatan yang amat dahsyat melalui momen Revolusi Prancis pada 1789. Kaum Muslim yang sebelumnya mendasari persaudaraan atas dasar Islam saja, kini mendasari persaudaraan mereka atas dasar kebangsaan.

Dengan memakai ide nasionalisme yang menuntut hak untuk mengatur diri sendiri, bangsa Arab melawan kepemimpinan bangsa Turki yang menjadi Khalīfah mereka karena dianggap legalitasnya tidak sah dan otoritarian (istibdād).[73]

Ide ini kemudian dikenal sebagai Pan-Arabisme (‘Urūbah).

Menurut Lothrop Stoddard, gerakan ini jelas-jelas merupakan suatu adaptasi dari nasionalisme Barat dalam bentuk “demokrasi teokratis”.[74]

Namun begitu, bangsa Arab menyadari bahwa musuh mereka bukan hanya Turki. Mereka juga menggunakan sentimen nasionalisme untuk melawan bangsa Eropa, sebuah “bangsa kafir” yang telah menjajah kaum Muslim sedunia secara militer maupun ekonomi di berbagai wilayah.[75]

Jadi secara paradoks, nasionalisme yang diambil dari Eropa mereka gunakan untuk melawan Eropa itu sendiri.

  1. Taqī al-Dīn al-Nabhāni, al-Dawlah al-Islāmiyyah, (Beirut: Dār al-Ummah, 2003), 178.

  2. Taqī al-Dīn al-Nabhāni, al-Syakhṣiyyah al-Islāmiyyah (Beirut: Dār al-Ummah, 2003), 1:391-392.

  3. Bernard Lewis, “The Impact of the French Revolution on Turkey”, Journal of World History, Vol. I No. 1 (Juli 1953): 107.

  4. Michael F. Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, (London: RoutledgeCurzon, 2003), 127; Bernard Lewis, “The Impact of the French Revolution on Turkey”, 108.

  5. Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939. (New York: Cambridge University Press, 1983), 41.

  6. Frial R. Supratman, Dua Laut Dua Benua: Dua Laut, Dua Benua: Biografi Sultan Fatiḥ (Cirebon: Pustaka Mukarnas, 2017), 42.

  7. Ibid, 16-17.

  8. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 15.

  9. Bernard Lewis, “The Impact of the French Revolution on Turkey”, 109.

  10. Ibid, 111

  11. Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 44.

  12. Michael Erdman, “Umma, Millet, Ulus, Vatan: The Development of the Concept of the Nation Among Turkic Intelletuals until 1917”, 10. Akses 7 Agustus 2019, https://www.academia.edu/download/39666587/Umma__Millet__Ulus__Vatan_-_Michael_ERDMAN.docx; Fatma Müge Göçek, Social Constructions od Nationalism in the Middle East, (New York: State University of New York Press, 2002), 37.

  13. Bruce Masters, “Turkey (Turk: Türkiye)”, dalam Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Encyclopedia of the Ottoman Empire, 574.

  14. Fatma Müge Göçek, Social Constructions of Nationalism in the Middle East, 37.

  15. Yüksel Çelik, “Mustafa Reşid Pasha”, dalam Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Encyclopedia of the Ottoman Empire, 414; Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 44.

  16. Hans Kohn, Nationalism: Its Meaning and History (Princeton, N. J., New York, Toronto, and London: D. Van Norstand Company, Inc., 1965), 19-22.

  17. Yücel Bulut, “Ottomanism”, dalam Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Encyclopedia of the Ottoman Empire, 448.

  18. Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 44.

  19. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 101.

  20. Abū ‘Abd Allāh Muḥammad b. Ismā’īl b. Ibrāhīm b. al-Mugīrah al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, 9:43 (# 6929).

  21. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 102.

  22. Bernard Lewis, “The Impact of the French Revolution on Turkey”, 107-108.

  23. Soner Cagaptay, Islam, Secularism, and Nationalism in Modern Turkey: Who is a Turk?, (New York: Routledge, 2006), 6.

  24. Bernard Lewis, “The Impact of the French Revolution on Turkey”, 108.

  25. Bruce Masters, “Millet”, dalam Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Encyclopedia of the Ottoman Empire, 383-384.

  26. Taqī al-Dīn al-Nabhāni, al-Dawlah al-Islāmiyyah, 187.

  27. Mona Hassan, Longing For The Lost Caliphate: A Transregional History (Princeton University Press, 2016), 148-149.

  28. Fatma Müge Göçek, Social Constructions of Nationalism in the Middle East, 21-22.

  29. Ibid, 32; Eugene Rogan, The Arabs, 73.

  30. Soner Cagaptay, Islam, Secularism, and Nationalism in Modern Turkey, 6.

  31. “Millet (Ottoman Empire)”, akses 9 Agustus 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/Millet_(Ottoman_Empire)#cite_note-Armenians-24.

  32. Yücel Bulut, “Ottomanism”, dalam Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Encyclopedia of the Ottoman Empire, 449.

  33. Kemal H. Karpat, “Nationalism”, dalam Ibid, 425.

  34. Fatma Müge Göçek, Social Constructions of Nationalism in the Middle East, 38.

  35. Eugene Rogan, The Arabs: A History (New York: Basic Books, 2009), 45.

  36. Taqī al-Dīn al-Nabhāni, al-Dawlah al-Islāmiyyah, 192; Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam (Jakarta: Panitia Penerbit Dunia Baru Islam, 1966), 146.

  37. Fatma Müge Göçek, Social Constructions od Nationalism in the Middle East, 33.

  38. Eugene Rogan, The Arabs, 43.

  39. Ibid, 61.

  40. Pasca ditaklukkan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah, Mesir masih dipimpin oleh Mamlūk yang tunduk pada kekuasaan İstanbul. Mereka bergelar Bey, dan dijuluki sebagai syaykh al-balad. Ketika Napoleon menyerang Mesir, posisi syaykh al-balad dijabat oleh Ibrāhīm Bey, sementara Murād Bey bertugas sebagai pemimpin pasukan dan amīr al-hajj. Lihat: Philip Dwyer, Napoleon: The Path to Power, 1769-1799, (London: Bloomsbury Publishing, Plc, 2007), 392.

  41. Frank McLynn, Napoleon: A Biography, (London: Pimlico, 1998), 179.

  42. Aḥmad Ḥāfiẓ ‘Awḍ, Nābūliyūn Būnābārte fī Mīṣr, (Kairo: Kalimāt ‘Arabiyyah), 105-107.

  43. Eugene Rogan, The Arabs, 62-64.

  44. Frank McLynn, Napoleon: A Biography, 183.

  45. Eugene Rogan, The Arabs, 63.

  46. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 31.

  47. Berdasarkan konsensus (ijmā’) sahabat, jabatan Khalīfah atau kepala negara tidak mempunyai masa tertentu yang dibatasi dengan patokan waktu tertentu. Selama Khalīfah masih tetap menjaga syariah, menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu untuk melaksanakan berbagai urusan dan tanggungjawab negara, maka ia tetap sah menjadi Khalīfah. Ini terlihat dari masa jabatan para Khulafā’ al-Rāsyidīn yang tidak dibatasi. Masing-masing dari Khalīfah yang empat menjadi Khalīfah sejak dibaiat sampai meninggal dunia. Lihat: Taqī al-Dīn al-Nabhānī, Ajhizah al-Dawlah al-Khilāfah: fī al-Hukmi wa al-Idārah, (Beirut: Dār al-Ummah, 2005), 50-51.

  48. Sistem Republik meniscayakan undang-undang dibuat oleh para perwakilan yang dipercaya rakyat sebagai representasi dari mereka. Menurut Ibn Khaldūn, pemerintahan yang sumber hukumnya dari mereka berarti pemerintahan tersebut berdasarkan akal manusia; sedangkan Pemerintahan dalam Islam hanya mengambil hukum dari al-Syāri’ (pembuat Syariat, yakni Allah dan Rasul-Nya). Oleh karena itu, seharusnya negara berdasarkan agama agar segala sesuatu yang berhubungan dengan negara itu berada di bawah naungan pengawasan Tuhan Sang Pemberi Hukum tersebut. Lihat: Ibn Khaldūn, Muqaddimah, 233.

  49. Aḥmad Ḥāfiẓ ‘Awḍ, Nābūliyūn Būnābārte fī Mīṣr, 105-107.

  50. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 32-33.

  51. Philip Dwyer, Napoleon: The Path to Power, 403.

  52. Eugene Rogan, The Arabs, 65.

  53. Ibid, 66-67. Kekuasaan Muḥammad ‘Alī di Mesir diwarisi oleh keturunan-keturunannya. Ketika salah satu keturunan Muḥammad ‘Alī yang bernama Ismā’īl Paşa (k. 1863-1879) naik takhta, ia meminta izin kepada Sultan Abdülaziz untuk memakai gelar Khudyāwī, yang berarti “Raja Muda” dalam bahasa Persia. Pemakaian gelar Khudyāwī ini dilanjutkan oleh penguasa-penguasa Mesir setelah Ismā’īl Paşa, dan berakhir di masa ‘Abbās Ḥilmī Paşa (k. 1892-1914) yang digulingkan oleh Inggris melalui tangan pamannya, Ḥusayn Kāmil.

  54. Arnold J. Toynbee, Civilization on Trial, (New York: Oxford University Press, 1948), 192.

  55. Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 69.

  56. Ali Muhammad ash-Shallabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah, 434.

  57. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 37.

  58. Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 52.

  59. Dalam sebuah statistik dari tahun 1813 sampai 1849, tercatat bahwa Muḥammad ‘Alī telah mengirim 311 pelajar Mesir ke Italia, Prancis, Inggris, dan Austria. Lihat: Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 37.

  60. Ibid, 38.

  61. Eugene Rogan, The Arabs, 85.

  62. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 43.

  63. Eugene Rogan, The Arabs, 86.

  64. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 46.

  65. Ibid, 44; Clemens Recker, ed., Liberalisme Arab, Penerjemah Taufik Damas dan M. Zaenal Arifin, (Jakarta: Frierich-Naumann-Stiftung für die Freihet, 2010), xi.

  66. Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 71.

  67. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 48.

  68. Taqī al-Dīn al-Nabhāni, al-Dawlah al-Islāmiyyah, 139; Bernard Lewis, “The Impact of the French Revolution on Turkey”, 107-108.

  69. Muhammad Iqbal, Tarānah-e Millī, dari Kulliyāt-e Iqbāl Urdū, (Lahore: Shaikh Ghulam ‘Ali and Sons Publishers, 1973), 159. Akses 18 November 2019 dari http://www.columbia.edu/itc/mealac/pritchett/00urdu/taranahs/graphics/txt_taranmilli_gloss.pdf. Untuk bacaan lebih lanjut mengenai pemikiran Muhammad Iqbal tentang Islam dan nasionalisme, lihat Iqbal Singh Sevea, The Political Philosophy of Muhammad Iqbal: Islam and Nationalism in Late Colonial India, (New York: Cambridge University Press, 2012).

  70. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 49.

  71. Ibid, 48.

  72. Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 79.

  73. Ibid, 318; Clemens Recker, ed., Liberalisme Arab, 36.

  74. Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, 147.

  75. Bassam Tibi, Arab Nationalism, 46-47.

Sumber : Makalah KLI Premium Online Class Pengaruh Pemikiran Barat Terhadap Khilafah Utsmaniyah oleh Nicko Pandawa S. Hum