Interaksi Islam dengan budaya Minang dan Melayu membentuk perpaduan yang sintetik. Sebaliknya, interaksi antara Islam dan budaya Jawa, menghasilkan bentuk Islam yang sinkretik, akan tetapi, diperlukan kehati-hatian dalam menyikapi relativitas proses sosial ini. Misalnya, interaksi Islam dan budaya Jawa jika ditinjau dari perspektif Islam memang telah memunculkan Islam yang bercorak sinkretik. Sebaliknya, jika dilihat dari perspektif perkembangan budaya Jawa, yang terjadi adalah proses sintetik yang amat serasi (Simuh, 2003:47)
ASIA TENGGARA SEBAGAI KESATUAN BUDAYA
“Dan (Kami tundukkan) untuk Sulaiman, angin yang sangat kencang tiupannya yang berembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami beri berkah padanya. Dan Kami Maha Mengetahui segala sesuatu ” Q.S. Al Anbiya’ 81
Asia Tenggara dengan posisinya yang dekat dengan khatulistiwa serta bentangan geografis yang membentuk benteng alami, membentuk suatu pola kegiatan masyarakat yang berbeda dibandingkan wilayah-wilayah Asia lainnya.
Hutan tropis, lautan pedalaman nan tenang serta hujan yang dipengaruhi oleh angin Muson menyebabkan petani serta nelayan bisa melakukan kegiatannya dengan tenang. Hal ini juga membentuk pola makan di wilayah ini yang mengutamakan bahan-bahan dari beras, sayuran, rempah dan ikan.
Barisan pegunungan tinggi yang membentuk hutan rapat di bagian utara serta kepulauan yang dipagari samudra, menyebabkan wilayah ini selamat dari pergolakan politik yang melanda kawasan Asia Timur, Selatan, Tengah, hingga Timur Tengah.
Namun jalur laut memutlakkan terjadinya pertukaran ide secara damai. Oleh karenanya di masa modern, pergolakan politik yang terjadi di Asia Tenggara selalu mendahului wilayah-wilayah lain dan berjalan cukup singkat dan tidak berlarut-larut.
Disebabkan oleh hal ini, pola budaya masyarakat di Asia Tenggara lebih mengedepankan keterbukaan. Pria dan wanita menempati posisi sosial yang setara bahkan hingga dalam urusan ekonomi dan kekuasaan.
Masalah kesetaraan pria dan wanita di Asia Tenggara ini tidak pernah menimbulkan masalah berarti baik di era Hindu-Budha maupun di era Islam.
Masalah baru muncul ketika kekuasaan Eropa membawa pandangan Patriarki Eropa di wilayah-wilayah jajahannya. Keterbukaan budaya Asia Tenggara inilah yang nanti ketika bertemu dengan Islam kemudian menjadi bibit terbentuknya sebuah masyarakat Islam yang dalam sekilas pandang cukup unik dibandingkan umat Islam di belahan bumi lainnya.
ISLAMISASI BUDAYA, SEBUAH STRATEGI
Islam sebagai sebuah agama yang bersifat (sebagaimana pandangan Max Muller) “missionary religion” atau agama yang memiliki misi menyebarkan ajarannya kepada seluruh manusia, memasuki wilayah Nusantara atau Asia Tenggara di awal-awal kebangkitannya.
Diperkirakan Islam sampai ke wilayah ini kemungkinan pada awalnya dibawa oleh para pelaut (baik pelaut Arab ataupun pelaut Nusantara yang telah lama berkoloni di kawasan Afrika Timur dan Timur Tengah).
Utusan-utusan Khalifah yang dikirim ke Tiongkok kemungkinan singgah untuk transit di pelabuhan-pelabuhan Nusantara dalam perjalanan laut dari Arab menuju Tiongkok.
Kebangkitan Daulah Khilafah sebagai pusat politik dan ekonomi dunia di masa tersebut memutlakkan bagi negara-negara lain untuk menjalin hubungan dengan Daulah Khilafah.
Bagi para penguasa di Nusantara terutama di wilayah-wilayah yang memiliki potensi perdagangan, menjalin hubungan dengan Daulah Khilafah dan berkonversi menjadi muslim adalah peluang untuk bergabung dengan komunitas internasional yang bernama umat.
Para penguasa lokal maupun masyarakat sendiri dengan mudah beradaptasi dengan pola kehidupan baru dalam naungan Islam. Islam menawarkan gaya hidup yang modern, mengutamakan kebersihan namun juga tidak bertentangan dengan harmoni budaya sebelumnya.
Teologi Islam juga mudah dicerna dan memiliki banyak persamaan dengan teologi kuno masyarakat Asia Tenggara sebelum Hindu-Budha, yaitu sebuah teologi yang mementingkan harmoni pada alam serta penyembahan kepada Sang Hyang Tunggal.
Lebih dari itu, Islam menawarkan gaya hidup baru yaitu Kosmopolitanisme, bahwa meski tinggal di kawasan terpencil di Asia Tenggara, menjadi muslim berarti menjadi bagian dari umat Islam sedunia yang memiliki gerak intelektual dan ideologi yang sama.
Hal inilah yang ditangkap oleh para mualim yang mendakwahkan Islam ke penjuru-penjuru kepulauan Nusantara. Menggunakan konsep dakwah yang sederhana, mereka dapat mengislamkan masyarakat mulai dari kalangan rakyat jelata hingga kalangan istana.
Para mualim di masa itu (abad XI hingga XVI masehi) yang kebanyakan merupakan para guru-guru pengelana sufi berbekal konsep teologi yang menekankan pada transendensi hubungan manusia dengan Sang Pencipta juga harmoni manusia dengan manusia lain dan alam semesta.
Konsep ini dengan mudah dipahami masyarakat dan menarik mereka ke dalam Islam. Para guru sufi ini juga lekat dengan budaya sastra Islam yang kemudian memadukan dengan budaya lokal dan melahirkan sastra khas Nusantara yang erat kaitannya dengan Islam.
ISLAMISASI BUDAYA, SEBUAH HASIL
Setelah Islamisasi Nusantara telah final, maka terbentuklah sebuah peri kehidupan baru di Nusantara. Jejak budaya Hindu-Budha digeser oleh budaya Islam. Tata pemerintahan, tata masyarakat, sastra-bahasa, hingga kuliner mengikuti pola pemikiran Islam.
Islam telah menjadi pandangan utama dalam kehidupan di Nusantara. Berbeda dengan kawasan Persia atau Syam atau India yang sempat memunculkan firqah-firqah Islam yang dipengaruhi oleh budaya setempat, di Asia Tenggara hal tersebut tidak terjadi.
Kawasan Melayu yang membentang dari Sumatra, Semenanjung Malaya, hingga Kalimantan, Islam menjadi budaya utama. Di kawasan ini yang di masa lalu pernah menjadi pusat imperium Budha, Sriwijaya, telah tak tampak lagi jejak budaya masa lalu.
Islam telah menjadi nafas bagi masyarakatnya. Namun, berbeda dengan di Jawa, yang sebelumnya merupakan pusat imperium Hindu, Majapahit. Secara sekilas nampak terjadi percampuran atau sinkretisasi antara Islam dengan budaya Hindu-Budha dalam banyak ritus kehidupan masyarakatnya.
Namun sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Simuh, bahwa untuk meilhat detak jantung masyarakat Jawa kita harus melihatnya dari sudut pandang Jawa. Islamisasi Jawa telah melahirkan sebuah konsep mistisisme Islam Jawa.
Konsep ini adalah sebuah konsep Islam yang dibahasakan dalam bahasa Jawa.
Islamisasi Jawa sering dilihat hanya terjadi pada masa singkat kedatangan Walisongo (1404) hingga berdirinya Kesultanan Demak yang menandai berakhirnya Majapahit (1475).
Namun sejatinya Islamisasi Jawa terus berlangsung hingga masa Sultan Agung Hanyakrakusuma (w.1645) memimpin Kesultanan Mataram Islam. Dalam rentang masa inilah Sintetik-Mistik Islam Jawa terbentuk. M.C.
Ricklefs mencatat bahwa masa Sultan Agung adalah masa puncak Islamisasi Jawa yang ditandai dengan
1. Islam menjadi identitas utama orang Jawa,
2. Penerapan Syariat Islam secara paripurna, bahkan di masa itu orang Jawa berusaha keras mewujudkan semua Rukun Islam,
3. Unsur-unsur mistik Jawa masa lalu yaitu para dewa-dewi penguasa kekuatan alam tetap dihormati oleh orang Jawa, namun bukan lagi sebagai sesembahan tapi hanya sekedar sesama makhluk Allah yang membutuhkan penghormatan.
Konsep ini terus menerus mengalami pembaharuan bahkan di masa setelah Sultan Agung yang penuh pergolakan hingga masa pembagian Mataram melalui perjanjian Giyanti (1755).
Pesantren menjadi inti dari Islamisasi di Jawa, proses ini terus berlangsung hingga penaklukkan secara menyeluruh Jawa oleh Belanda pasca Perang Diponegoro (1825-1830).
TANTANGAN
Andre Moller dalam salah satu penelitiannya menyampaikan bahwa Islamisasi Nusantara khususnya Jawa masih terus berlangsung hingga kini. Pemerintah Kolonial Belanda sebagai upaya untuk meredam perlawanan kaum muslimin melakukan kebijakan politik yang didukung oleh Misionaris dan Orientalis.
Mereka (pemerintah kolonial) mencoba mereduksi Islam dan memisahkan kaum muslimin menjadi golongan-golongan yang mudah diadu domba. Di Jawa pasca Perang Jawa terciptalah trikotomi Santri-Abangan-Priyayi atau di Aceh selama Perang Aceh lahir pemisahan Ulama-Uleu Balang.
Konsep lainnya adalah membangkitkan budaya-budaya pra Islam dan mewacanakannya sebagai inti dari budaya Nusantara. Di sisi lain bangkitnya gerakan pembaharuan Islam di pusat Daulah Islam (Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al Afghani di Mesir dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di Jazirah Arab) membawa sebuah wacana pemurnian Aqidah Islam dan melepaskan dakwah budaya yang selama ini menjadi trademark kaum muslim sufi.
Maka selama beberapa dekade akhir di abad XX, bidang budaya tidak diperhatikan oleh kaum muslimin. Bahkan di masa kebangkitan Sosialisme-Komunis, bidang ini menjadi garapan empuk kaum kiri.
Justru penelitian para orientalis di dekade akhir abad XX membuka mata kaum muslimin di negeri ini terkait pentingnya menjaga, melestarikan, serta mengembangkan budaya Nusantara agar selalu selaras dengan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony Reid, 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680;Jilid 1 Tanah Di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Irfan Afifi, 2019. Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta: Tanda Baca.
M.C.Ricklefs, 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
Michael Laffan, 2015. Sejarah Islam di Nusantara. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Moeflich Hasbullah, 2017. Islam dan Transformasi Masyarakat Nusantara. Depok: Kencana.
Nancy K. Florida, 2020. Jawa-Islam di Masa Kolonial;Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa. Yogyakarta: Buku Langgar.
Sumber : Makalah KLI Premium Online Class Pertemuan 2 Strategi Dakwah Islam di Nusantara Sesi 1 Budaya oleh Nur Fajarudin, M.Pd