Pemateri : Nur Fajarudin, M.Pd

“Kami, para Nabi, diperintahkan untuk berkata-kata kepada masyarakat menurut kemampuan akal pikiran mereka” (HR Bukhari)

Tidak bisa dipungkiri bahwa bahasa adalah alat utama dalam menyampaikan kebenaran ajaran Ilahi.

Islam sebagai sebuah agama rahmat bagi seluruh alam dan umat manusia, melampaui zaman dan tempat, menjadikan bahasa sebagai alat utama penyebarannya.

Rasulullah Muhammad SAW yang diwahyukan kepadanya Al Qur’an yang menggunakan bahasa Arab, namun diberi amanah untuk menyampaikan Islam tidak hanya terkhusus untuk bangsa Arab.

Bahasa Arab dipilih menjadi sebuah bahasa yang istimewa yang menjadi bahasa bagi kitab suci terakhir bagi seluruh umat manusia.

Bahasa Arab adalah sebuah bahasa yang cair, bahasa yang tidak dipengaruhi “pembakuan” oleh oknum kekuasaan dan intelektual.

Masyarakat Arab yang waktu itu masih mengembangkan kehidupan nomaden, menyebabkan bahasa Arab mampu melahirkan jutaan kosakata.

Budaya sastra Arab yang berkembang sejak era pra-Islam dan menjadi hiburan sekaligus kebanggaan bagi bangsa Arab, menyebabkan bahasa ini menjadi kebanggaan dan terjaga kemurniannya oleh para pengucapnya.

Pada masa Islam, bahasa dan sastra Arab mengalami kodifikasi. Ini dilakukan sebagai bagian dari Islamisasi yang terjadi di luar Jazirah Arab.

Materi tata bahasa Arab dan pedoman penulisan aksara Arab diajarkan di madrasah-madrasah yang digagas oleh Daulah Islam.

Sastra Arab juga lebih dibumikan sebagai materi wajib yang dikuasai para khatib, panglima perang, dan para pejabat pemerintahan. Bahasa Arab yang cair inilah nanti di masa Islam mampu menelusup dan mempengaruhi bahasa-bahasa lain, sebagai akibat untuk membahasakan Islam.

Islam dan bahasa Arab, memberadabkan bahasa-bahasa lain, menarik ke garis nalar, serta mengomunikasikan konsep iman dan Islam sehingga manusia dari bagian barat hingga timur mampu menerima Islam dengan mudah.

Dengan kemampuan bahasa yang lebih tinggi, pada akhirnya para penyebar Islam mampu dengan mudah mendedahkan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Termasuk ke Nusantara.

MENJAYAKAN MELAYU, MELEBUR NUSANTARA

“Jika hendak mengenal orang yang berbangsa
Lihatlah budi dan bahasa
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia
Sangat memeliharakan yang sia sia
Jika hendak melihat orang mulia
Lihat pada kelakuan dia
Jika hendak mengenal orang yang berilmu
Bertanya dan belajar tiadalah jemu
Jika hendak mengenal orang yang berakal
Di dalam dunia mengambil bekal
Jika hendak melihat orang yang baik perangai
Lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai”
(Gurindam Dua Belas [Fasal Kelima], Raja Ali Haji)

Kepulauan Nusantara adalah sebutan populer di masa Majapahit pada gugusan kepulauan yang membentang di wilayah Asia Tenggara.

Kepulauan ini seakan memagari samudra Pasifik dengan samudra Hindia dan ibarat deretan batu loncatan antara benua Asia dengan Australia.

Kepulauan Asia Tenggara atau Nusantara ini dihuni oleh komunitas masyarakat yang cukup beragam dan memiliki corak budaya yang berbeda di setiap pulaunya.

Namun, musim yang ramah serta lautan yang tenang memicu terjadinya interaksi antar pulau, dimana pertukaran sumber daya alam adalah pangkalnya.

Di pulau-pulau yang lebih besar, seperti Sumatra atau Jawa, pelabuhan-pelabuhan besarnya tidak hanya didatangi para pelaut lokal tapi juga disinggahi para saudagar internasional yang tertarik pada komoditas eksotik Nusantara.

Beragamnya manusia dari berbagai pulau yang terkumpul di bandar-bandar Nusantara memutlakkan sebuah bahasa yang menyatukan komunikasi mereka.

Tersepakatilah penggunaan bahasa Melayu yang secara gramatikal dan sintaksis cukup sederhana dibandingkan bahasa-bahasa yang ada di sekitar Asia Tenggara. Bahasa Melayu kemudian tersebar hampir di seluruh kawasan kepulauan Asia Tenggara.

Para pelaut Nusantara juga dianggap menjadi aktor pembawa bahasa ini sehingga jejaknya bisa dilacak mulai dari bahasa Aborigin di pesisir utara Australia hingga ke bahasa masyarakat Madagaskar di pantai timur Afrika.

Bagi kaum muslimin, bahasa Melayu ini cukup dikenal karena salah satu kosakatanya terselip di dalam Al Qur’an.

Para pelaut Arab, saudagar Islam, juga para mualim ketika berdakwah di kawasan Asia Tenggara, cukup mudah berkomunikasi menggunakan dan membahasakan Islam kepada para penduduk setempat.

Sebagai bahasa penghubung, bahasa Melayu sangat terbuka untuk mendapat pengaruh dari bahasa lain. Maka masuklah pengaruh bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu.

Bahasa Arab melimpahi bahasa Melayu dengan banyak kosakata baru. Bahasa Arab juga menata tata bahasa Melayu yang puncaknya nanti dilakukan oleh qadi Kesultanan Melayu Riau, Raja Ali Haji yang menyelesaikan kitab tata bahasa Melayu berjudul Bustanul Katibin pada 1850.

Bahasa Arab juga mengenalkan metoda penulisan bahasa Melayu melalui aksara Arab Jawy. Bahasa Melayu kemudian dengan massif tersebar dan digunakan di wilayah-wilayah Kesultanan di Asia Tenggara.

Hingga hari ini, rumpun bahasa Melayu masih merupakan bahasa mayoritas yang digunakan di Asia Tenggara yang sebarannya meliputi wilayah Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Singapura, Thailand (di empat provinsi;Pattani, Yala, Narathiwat, dan Satun), dan Vietnam Tenggara.

Sebelum Islam datang, bahasa Sansekerta yang menjadi bahasa kaum Brahmana dan Ksatria tidak bisa dipelajari oleh semua kalangan dan terbatas pada area kuil dan istana.

Tersebarnya Islam yang sebagian besar disebarkan melalui perantara bahasa Melayu, menghapuskan bahasa Sansekerta dari kawasan Asia Tenggara. Bahasa Sansekerta menjadi bahasa mati karena linguistiknya tidak bisa berkembang mengikuti zaman dan bersifat elitis.

Persebaran bahasa Melayu yang massif bersama Islamisasi Asia Tenggara ini menghapuskan buta huruf di kawasan ini. Penjelajah Eropa ketika pertama datang ke kawasan Asia Tenggara, menyatakan sebagian besar penduduk kawasan ini baik pria maupun wanita memiliki kemampuan baca dan tulis yang baik.

Lekatnya bahasa Melayu dengan bahasa Arab dan Islam turut pula melahirkan dan menjayakan kesusasteraan Melayu. Kesusasteraan Melayu berkembang mengikuti pola kesusasteraan Arab.

Lahirlah Hikayat, Syair, hingga Gurindam sebagai penghias bahasa Melayu.

Sastra Melayu dikembangkan oleh para ulama untuk menyebarkan ajaran Islam mengikuti metode dakwah kaum sufi yang popular di pusat peradaban Islam antara abad XII hingga XVI dan bersamaan dengan massifnya Islamisasi Asia Tenggara.

Sebagian sastra ini murni pengejawantahan ajaran Islam dan ada pula perpaduan dengan kisah-kisah lokal yang mengalami Islamisasi.

Maka Islam dan Bahasa Arab pada akhirnya menjayakan Bahasa Melayu serta menaikkan derajatnya sebagai hanya bahasa kasar di pasar dan pelabuhan menjadi ujung tombak penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara.

SEBUAH KASUS YANG BERBEDA DI JAWA

“Rame rame ngoyak doro mabur muluk aduh
Nusup silem ning mego wah
Alok alok playune
kesandhung sandhung tobil
Darane dewe ucul
Jroning gupon akeh piyik’e
Ora kopen kontrang kantring
Ombene wus asat pakan mung kari wadahe
Akeh kang kebandhang
gupone katon komplang

Jebulane..sak kabehe
Milik Sarwo Melok ingkang dudu mestine..
Amburu uceng..kelangan deleg
Mrih tentreme bebrayan
Urip ingkang prasojo”
(Dara Muluk, Ki Narto Sabdo)

Dalam Babad Dipanegara disebutkan bahwa salah satu tuntutan perjanjian antara Pangeran Dipanegara dengan Belanda adalah bahwa Sang Pangeran yang dibaiat dengan nama Sultan Abdul Hamid tersebut tidak mau menggunakan bahasa Melayu dalam pasal perjanjian, tapi hanya bahasa Jawa.

Pangeran Dipanegara juga mengejek bahasa Melayu sebagai basa pithik (bahasa ayam). Lalu apakah dalam hal ini sang pangeran santri ini tidak menghargai jasa bahasa Melayu dalam membumikan ajaran Islam di kawasan Asia Tenggara?

Kasus Islamisasi di Jawa sendiri sedikit ditempatkan secara khusus oleh para ahli sejarah.

Beberapa sejarawan dan sosiolog Belanda keliru ketika menyatakan bahwa Islam melahirkan sinkretisme Jawa. Mereka kurang mendalam melihat dari dalam sanubari Jawa yang berinti pada ajaran Islam.

Termasuk dalam penggunaan bahasa dan sastra Jawa sebagai sarana menabalkan Islam pada penduduk Jawa.

Tidak bisa dipungkiri, ketika Islam mulai merambah Asia Tenggara, pusat peradaban terbesar ada di pulau Jawa.

Di masa awal kedatangan Islam, Jawa, khususnya yang didiami etnis Jawa di wilayah bagian tengah dan timur pulau ini, seakan membentuk entitas budaya sendiri yang bercorak Hindu di tengah ekspansi agama dan imperium Budha.

Pada abad XI, Kekuasaan Hindu di Jawa mulai lepas dari kekuatan Sriwijaya yang bercorak Budha dan mulai menanamkan pengaruh di 2/3 wilayah Kepulauan Nusantara yang nanti puncaknya terjadi di era Majapahit.

Pada masa ini, kaum muslimin telah datang dan tinggal di Jawa khususnya di wilayah-wilayah pelabuhan seperti Tuban, Leran (Gresik), juga di Ujung Galuh (Surabaya).

Islamisasi dua pertiga Nusantara kemudian dimulai dengan mengislamkan terlebih dahulu pusat peradaban Nusantara di Jawa dan berdatanganlah para ulama ke kawasan pusat keukasaan Majapahit di Jawa bagian timur dan tengah.

Sangat sering disinggung bahwa Islamisasi di Jawa bersifat bottom up, yaitu Islamisasi dimulai dari gerakan massif di kalangan bawah dan berlahan menyentuh pemegang kekuasaan dan pada akhirnya memutlakkan perubahan kekuasaan dan ideologi.

Ini sangat berbeda dengan Islamisasi di kawasan lain Nusantara yang bersifat up down yaitu ketika seorang penguasa melakukan konversi menjadi muslim dan diikuti secara bersama-sama oleh rakyatnya.

Islamisasi Jawa mempunyai kesamaan dengan perubahan social yang digagas oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di Jazirah Arab yang melahirkan peradaban Islam.

Perubahan sosial seperti ini memutlakkan hadirnya para ulama yang menjadi guru sekaligus pemimpin gerakan perubahan.

Maka komunikasi secara intensif dan tepat harus dilakukan agar Islam bisa segera diterima dan tertanam kuat dalam sanubari rakyat.

Maka penguasaan bahasa sekali lagi penting untuk dilakukan dan inilah yang pada akhirnya memicu pula perubahan pada bahasa dan sastra Jawa.

Prof. Simuh sebagai salah seorang sejarawan yang menyatakan bahwa inti budaya Jawa adalah Islam, menyarankan agar melihat fenomena ini dari sudut dalam peradaban Jawa.

Artinya secara mudah dinyatakan bahwa bukan Islam yang menyesuaikan dengan budaya Jawa, tapi justru Jawalah yang mengalami banyak perubahan karena pengaruh Islam, termasuk dalam bahasanya.

Bahasa Sansekerta praktis digunakan oleh para elit agama dan kerajaan, sedangkan bahasa Melayu hanya berkembang di kawasan pelabuhan.

Mayoritas penduduk menggunakan basa kawi sebuah varian bahasa Jawa Kuno. Bahasa inilah kemudian digunakan sebagai bahasa pengantar ajaran Islam yang dikembangkan oleh para ulama (walisongo) dalam lembaga pendidikan formal dan non formal yang mereka dirikan.

Oleh karenanya, perpaduan bahasa Jawa dan bahasa Arab dalam menyampaikan ajaran Islam melalui linguistic dan sastra terasa lebih “halus” dibandingkan antara bahasa Melayu dengan bahasa Arab.

Bahasa Melayu menyerap begitu saja bahasa Arab pada banyak kosakata dan tata kalimatnya, sedangkan bahasa Jawa hanya melahirkan sistem morfem/bunyi antara “a” dan “o” yang diserap dari sistem bunyi bahasa Arab.

Selebihnya bahasa Jawa memunculkan kosakata tersendiri dalam membahasakan istilah-istilah ajaran Islam, misalnya kata sembahyang untuk sholat, puasa untuk shaum, hingga gotong royong sebagai penyama istilah ta’awun.

Bahasa Jawa juga mengenal sistem fonetik dan sintaksis bertingkat yang mengikuti dengan siapa seseorang berkomunikasi, sehingga memunculkan pola kosakata dan kalimat yang berbeda meski mengandung makna yang sama.

Hal ini dipengaruhi oleh adab dan akhlak dalam berkomunikasi yang dikenalkan oleh Islam. Sebuah sistem tata bahasa yang hanya dimiliki oleh muslim di Jawa dan tidak ditemui dalam bahasa lain.

Dan di masa Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram yang dianggap sebagai pemuncak Islamisasi Jawa, bahasa Jawa telah selesai dibakukan mengikuti kemuliaan bahasa Arab dan ketinggian adab Islam.

Sastra Jawa juga mencapai puncaknya dengan lahirnya banyaknya genre kesusasteraannya.

Sebelum masa Islam, di Jawa hanya dikenal kakawin, namun setelah masa Islam muncullah babad, suluk, tembang, kidung, juga wirid.

Naskah-naskah ini yang sebagian ditulis menggunakan aksara Jawa (yang mengalami Arabisasi bunyi) dan sebagian lain ditulis dalam aksara pegon (aksara Arab berbahasa Jawa) sangat inplisit dengan ajaran-ajaran Islam ketimbang ajaran Hindu-Budha.

Maka bisa disimpulkan bahwa bagi muslim Jawa, penggunaan bahasa Jawa bukanlah perlambang ashobiyyah tapi bahasa ini bagi mereka di masa itu adalah identitas utama sebagai seorang muslim, karena menjadi Jawa berarti menjadi Islam.

Atau sebagaimana kasus Pangeran Dipanegara di atas bahwa pilihannya menggunakan bahasa Jawa karena melihat bahasa ini belum dicemari oleh lisan kafir Belanda yang secara serampangan menggunakan bahasa Melayu dalam berkomunikasi dengan orang pribumi. Wallahu’alam bis shawab.

DAFTAR PUSTAKA
Agni Malagina, 2019. Riwayat Sastra Penyengat. (artikel majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2019).
Alif Danya Munsyi, 2003. 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Anthony Reid, 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Buku Obor.
Irfan Afifi, 2019. Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta: Tanda Baca.
Michael Laffan, 2015. Sejarah Islam di Nusantara. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Nancy K. Florida, 2020. Jawa-Islam di Masa Kolonial. Yogyakarta: Penerbit Langgar.

Sumber : Makalah KLI Premium Online Class Pertemuan 3 Strategi Dakwah Islam di Nusantara Sesi 2 Sastra oleh Nur Fajarudin, M.Pd