Pemateri : Nicko Pandawa S.Hum

A. Ethische Politiek: Nasionalisme Hindia-Belanda kontra Pan-Islamisme
‘Uṡmāniyyah

Demi mengukuhkan hegemoninya atas tanah jajahan, semenjak awal abad ke-20 Belanda menggencarkan politik Pax-Neerlandica. Kebijakan ini diartikan sebagai sebuah penciptaan hubungan yang begitu intim antara pihak penjajah dan pihak yang dijajah. Hubungan yang dibangun bukanlah berdasarkan penaklukkan, tapi didasarkan atas kesukarelaan penduduk Hindia Timur atas kepemimpinan bangsa Belanda.[1]

Untuk tujuan itu, Pemerintah Kolonial Belanda melancarkan Politik Etis (Ethische Politiek), yakni suatu kebijaksanaan politik Belanda yang lebih memperhatikan kepentingan-kepentingan rakyat Hindia Timur berdasarkan asas kemanusiaan.

Pidato tahunan kerajaan pada bulan September 1901 telah menunjukkan semangat ini ketika Ratu Wilhelmina berkata tentang suatu “kewajiban yang luhur dan tanggungjawab moral untuk rakyat Hindia-Belanda.”[2]

Mereka mulai menyatakan keprihatinan kepada keadaan ekonomi di Hindia Belanda, sehingga pada tahun 1905, Belanda rela untuk menggelontorkan dana sebesar 40.000.000 gulden demi perbaikan keadaan ekonomi di Jawa dan Madura.[3]

Belanda turut pula mendirikan Kantoor voor Inlandsche en Arabische Zaken (KIAZ, Kantor Urusan Pribumi dan Arab).

Kantor ini bertugas memberikan pengertian kepada kaum pribumi Muslim, bahwa “kepentingan agamanya juga diperhatikan oleh Pemerintah Kolonial”; mulai dari masalah pendidikan, kas masjid, sampai pengurusan ibadah haji.[4]

Menurut Madjid, Pemerintah Kolonial telah membuat berbagai peraturan (resolutie) mengenai pemberangkatan ibadah haji dengan tujuan agar calon jamaah haji dapat melaksanakan perjalanan dan ibadah haji mereka dengan aman dan sempurna, asal yang bersangkutan “tiada tersangkoet perkara politie oetawa laen-laenja”.[5]

Begitu pula pihak Konsulat Belanda di Jeddah yang berusaha memberikan pelayanan (public service) bagi kawulanya yang berangkat haji yang mendapat kesulitan di tanah suci.

Konsulat memberi bantuan pinjaman uang tanpa memungut jasa, dan pengembalian dilakukan setelah jamaah tiba di tanah air.[6]

Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Belanda amat mendukung dan berusaha melaksanakan kewajiban politiknya (penanganan urusan rakyat) terhadap kaum Muslim di Hindia Belanda.

Pemerintah Kolonial berusaha untuk menjadi pengayom rakyat jajahannya, memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka, dan menjamin kebebasan beragama mereka.

Semua kebijakan tersebut berporos pada ide Pax-Neerlandica; yakni agar rakyat Hindia Belanda mengalihkan loyalitas dan kesetiaannya semata hanya untuk Pemerintah Kolonial Belanda.

Namun dari aspek “loyalitas” inilah Belanda menghadapi tantangan yang menyulitkan dalam urusan politiknya terhadap kaum Muslim di Hindia Timur.

Islam mengajarkan bahwa loyalitas (al-walā’) kaum Muslim hanyalah untuk Allah dan Rasul-Nya beserta orang-orang yang beriman. Allah telah menyatakan dalam Al Quran, “dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi teman setia bagi sebagian yang lain (wa al-mu’minūna wa al-mu’minātu ba’ḍuhum awliyā’u ba’ḍin).[7]

Di saat yang bersamaan, kaum Muslim diwajibkan untuk menyatakan disloyalitas-nya (al-barā’) kepada musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya dari kalangan kaum kafir, ateis, politeis (musyrikūn), dan lain-lain.[8]

Menurut al-Dumayjī, seluruh kaum Muslim telah bersepakat bahwa tidak diperbolehkan mengangkat orang-orang kafir untuk mengatur urusan kaum Muslim. Orang kafir, lanjut al-Dumayjī, tidak memiliki kuasa terhadap orang Muslim secara mutlak.[9]

Salah satu aspek yang dapat menghancurkan cita-cita Pax-Neerlandica mereka adalah ketika kaum Muslim jajahannya menyerahkan loyalitas dan ketundukannya hanya kepada Khilāfah ‘Uṡmāniyyah yang berkedudukan di İstanbul.

Dengan meledaknya pemberontakan di Palembang yang terinspirasi agitasi Pan-Islamisme oleh beberapa sufi ‘Uṡmāniyyah pada tahun 1881, Gubernur Jenderal di Batavia mewanti-wantikan seluruh aparatur Pemerintah Kolonial Belanda agar selalu memasang “mata penuh waspada” (een wakend oog) kepada setiap gelagat Pan-Islamisme.

Benar saja, pasca-1881, Gubernur Jenderal menerima 33 laporan yang berkaitan dengan aktivitas Pan-Islamisme yang menguak nama-nama tertuduh, di mana sebelumnya paling-paling hanya muncul sebanyak 3-5 laporan.

Tentu saja lebih banyak lagi laporan serupa yang muncul di tahun-tahun berikutnya, yang membuat Belanda begitu ketakutan akan ancaman potensial Pan-Islamisme yang diilhami dari İstanbul.[10]

Dalam ceramahnya di depan sivitas akademika NIBA (Nederlandsch Indische Bestuurs Academie) di Delft pada tahun 1911, Snouck memperjelas gagasan politik Islamnya, yakni:

1. Terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama, hendaknya pemerintah bersikap netral.

2. Masalah perkawinan dan pembagian waris dalam Islam, menuntut penghormatan.

3. Tiada satu pun bentuk Pan-Islamisme yang boleh diterima oleh kekuasaan Eropa.[11]Pan-Islamisme” inilah yang dimaksud Snouck sebagai doktrin politik Islam yang wajib ditolak, dikarenakan ia sering merintangi “hubungan bersahabat antara si penjajah dan yang dijajah”.[12]

Gambar 1. Snouck Hurgronje

Mereka curiga bahwa konsep Pan-Islamisme yang disebarkan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah, apalagi di bawah patronase Sultan Abdülḥamit II yang dicibiri Snouck sebagai “sultan lalim yang haus darah”, adalah untuk memberi kesan kepada kaum Muslim di daerah jajahan Eropa bahwa Khalīfah adalah penguasa tertinggi yang harus mereka taati.

Dengan demikian, maka pemerintah Eropa di tempat mereka tinggal paling-paling hanyalah bawahan Khalīfah atau penguasa yang tidak sah.[13]

Bagi Snouck, loyalitas kaum Muslim kepada Khalīfah merupakan konsep usang warisan Abad Petengahan, dan dia berfatwa bahwa “dalam Islam yang diperlukan hanya menghapus pembatasan Abad Pertengahan” tersebut.[14]

Sebagai salah satu think-tank yang sangat diandalkan Pemerintah Kolonial Belanda, Snouck Hurgronje amat mendukung kebijakan Politik Etis (Etische Politiek) di bidang pendidikan.

Menurut Snouck, bagi “negara-negara modern yang memiliki orang Islam sebagai warga negara yang dilindungi,” kewajiban mereka adalah memberikan pendidikan Barat kepada orang Islam sehingga mereka dapat “mewujudkan gambaran yang indah dari pergaulan manusia.”[15]

Hal ini ditujukan untuk mengalihkan loyalitas kaum Muslim Hindia Timur hanya untuk penguasa Belanda, bukan kepada para Khalīfah ‘Uṡmāniyyah. Secara gamblang Snouck menandaskan,

Kita beberapa tahun telah lebih dahulu menjalankan politik pendidikan yang sadar terhadap golongan pribumi, yang oleh sejarah dipercayakan di bawah asuhan kita; dan hal ini mampu melawan Khilāfah, Perang Suci, dan ketidakadilan Abad Pertengahan lainnya. Apabila kita menepati janji akan memberi jaminan kebebasan beragama sepenuhnya kepada kaum Muslim, dan bersama itu terus melanjutkan politik pendidikan dalam tempo yang makin dipercepat, kita tidak akan pernah merasa khawatir terhadap “senjata kaum cendekiawan” yang berbentuk aneh itu (maksudnya Pan-Islamisme, pen.).[16]

Dalam penekanannya untuk mengurangi pengaruh Khilāfah dan perang suci (jihad), salah satu bentuk politik pendidikan yang digencarkan dalam Politik Etis adalah usaha penyadaran rakyat Hindia-Belanda akan ikatan yang mempersatukan mereka.

Belanda menekankan bahwa ikatan tersebut adalah ikatan dalam kesatuan nasional dan politik di bawah payung kekuasaan Kolonial Belanda.

Laffan menyebut kesatuan ini sebagai nasionalisme Hindia-Belanda (Dutch-Indies nationalism).[17]

Berkat kebijakan penuh darah Gubernur Jenderal J.B. van Heutz (1851-1924) – di mana ia dikenal aktif untuk memperpanjang dan mengamankan kedaulatan Belanda di Hindia-Timur dengan kekuatan militer, seorang pembantai horor dalam Perang Aceh – setelah tahun 1904 (tahun kenaikan van Heutz sebagai Gubernur Jenderal) orang dapat mengatakan bahwa Hindia Timur adalah kesatuan geografis-politis dengan perluasan daerah dan kekuasaan politik Belanda ke seluruh kepulauan Hindia Timur.[18]

Dengan kata lain, Politik Etis yang mencanangkan pendidikan berorientasi Barat ini berusaha menanamkan rasa cinta terhadap tanah air rakyat Hindia-Belanda.

Tentu, “tanah air” yang dimaksud oleh doktrin nasionalisme yang ditanam penjajah Belanda ini adalah tanah air yang teritorialnya adalah batas-batas ciptaan kolonial.

Menurut Adam, yang kemudian mampu mempengaruhi opini umum publik di Hindia Timur mengenai penyebaran visi nasionalisme Hindia-Belanda adalah sebuah majalah mingguan yang bernama Bintang Hindia.[19]

Majalah ini diproduksi oleh seorang Sumatera yang tinggal di negeri Belanda, Abdoel Rivai (1871-1937), dan bekerjasama dengan sahabatnya yang mantan tentara Belanda bernama H.C.C. Clockeners Broussons.

Gambar 2. Abdoel Rivai

Abdoel Rivai adalah seorang dokter djawa lulusan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA, Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) di Batavia.

Setelah lulus pada 1894, ia tinggal di Medan dan membuka praktik kedokteran di sana. Ia kawin dengan seorang janda muda Belanda. Orangtua Rivai kemudian memutuskan hubungannya dengan Rivai, karena menganggap Rivai sudah menjadi kafir.[20]

Ia pergi meneruskan pendidikan kedokterannya ke Universitas Utrecht di Amsterdam. Sebelum menerbitkan Bintang Hindia bersama Broussons, dengan usahanya sendiri Rivai menerbitkan majalah dwi-mingguan yang bernama Pewarta Wolanda pada tahun 1900 dan Bintang Hindia di tahun-tahun berikutnya.

Sebagai lulusan sekolah Belanda, pendidikan ala Politik Etis benar-benar berhasil membentuk jati diri Barat dalam diri Abdoel Rivai.

Penerbitan Pewarta Wolanda dalam bahasa Melayu ditujukan Rivai untuk mendekatkan bangsa pribumi dengan “bangsa toewannja”,[21] yakni para penguasa kolonial Belanda, dan untuk “mencoba mengurangi pengaruh Turki atas kaum Muslim di Hindia-Belanda” (invloed te verminderen door Turkije op vele Mohamedanen in Indiё).[22]

Majalah ini dirancang untuk diedarkan di antara para penguasa pribumi, pegawai negeri, dan kaum berada.[23] Pewarta Wolanda juga mencoba meyakinkan para orangtua agar mengirimkan anak-anak mereka untuk mendapatkan pendidikan ke negeri Belanda, bukan ke İstanbul seperti anak-anak yang dikirim ke sana oleh Meḥmet Kamil Bey.[24]

Bahkan pada 1901 Rivai mengklaim bahwa rakyat Hindia-Belanda harus “menghadapkan wajah mereka untuk beribadah tidak lagi ke Ka’bah tapi ke arah Den Haag, di mana mereka tahu bahwa (di sanalah) Ratu Belanda naik takhta.”[25]

Bagi para redaktur Bintang Hindia, sentimen nasionalisme (nationaliteitsgevoel) dan patriotisme (vaderlandsliefde) harus senantiasa diulang-ulang kepada rakyat jajahan Belanda yang ditujukan untuk menanamkan kecintaan kepada “bangsa kita”.[26]

Gambar 3. Bintang Hindia Soerat Tjerita

Yang dimaksud “bangsa kita” oleh Bintang Hindia adalah bangsa yang hidup di tanah air (moederlanden) yang sama, yakni “tanah Hindia”.

Padahal sebelumnya penduduk Hindia senantiasa melekatkan terminologi “bangsa” kepada Islam, bukan kepada tanah air.

Selain bernuansa materialistik, secara spesifik “tanah Hindia” yang mereka maksud adalah tanah air yang berada dalam batas-batas teritori taklukkan kolonial, di mana ia terbentang “dari pesisir-pesisir Aceh sampai terumbu-terumbu karang di Nugini (Papua Barat)” (van Atjeh’s stranden tot de Koraalrotsen van Nieuw-Guinea).[27]

Laffan menganggap peralihan penyandaran kata “bangsa” dari “Islam” menuju “tanah air” yang dilakukan oleh Bintang Hindia adalah langkah yang radikal.[28]

Ide-ide yang digagas dan dipropagandakan Bintang Hindia seperti nasionalisme dan patriotisme, juga beberapa terminologi yang dipopulerkan seperti tanah air, kaoem moeda, dan kemadjoean tentu berpengaruh bagi pembentukkan opini umum di kalangan rakyat Hindia-Belanda.[29]

Tak terkecuali bagi orang-orang Islam yang memiliki semangat religius dan terpelajar di bidang agama. Namun sedikit berbeda dengan nasionalisme yang didoktrinkan oleh Politik Etis, kaum Muslim Hindia Timur yang terpelajar dari segi agama ini – khususnya yang berasal dari alam Minangkabau dan Singapura, terpapar oleh ide nasionalisme melalui pengalaman yang mereka dapatkan selama belajar di Mesir.

B. Transmisi “Nasionalisme-Religius” dari Mesir ke Hindia-Belanda

Bagi kaum Muslim di Hindia-Belanda, alternatif pendidikan di luar negeri untuk menuntut ilmu agama tertuju kepada tiga tempat di Timur Tengah: İstanbul, Hijaz, dan Kairo.

Dalam konteks pembahasan kali ini, kita akan lebih menyorot Kairo yang memiliki Universitas al-Azhar di dalamnya sebagai tempat tujuan para pelajar dari bilād al-Jāwah.

Kairo inilah yang kemudian menjadi saluran transmisi ide nasionalisme dan patriotisme ala Revolusi Prancis bagi para pelajar tersebut yang sebelumnya telah dikembangkan berkat usaha al-Ṭahṭāwī, al-Afgānī dan ‘Abduh.

‘Alī Mubārak telah mencatat eksistensi riwāq al-Jāwī di Kairo antara tahun 1871 sampai 1888.

Sedikit informasi yang diberikan tentang siapa saja orang Asia Tenggara yang menjadi penghuni riwāq tersebut pada saat itu, kecuali tentang syaykh yang menjadi pengasuh riwāq al-Jāwi, diketahui bernama Ismā’īl Muḥammad al-Jāwī atau dikenal juga sebagai Ismā’īl al-Khālidī al-Minangkābawī (1722-1844),[30] pemimpin tarekat Naqsyabandiyyah yang masyhur dari tanah Minangkabau.

Pada tahun 1894, seorang Minangkabau lain menjadi pengasuh riwāq al-Jāwī, bernama Ismā’īl ‘Abd al-Muṭallib al-Minangkābawī.

Dia adalah murid dari seorang ulama Minangkabau yang menjadi pemimpin komunitas Jāwī sekaligus pemuka mazhab Syāfi’ī di Masjid al-Ḥaram Makkah, bernama Aḥmad Khaṭīb al-Minangkābawī (1860-1916).[31]

Mengetahui salah seorang muridnya menjadi pengasuh pelajar Jāwī di al-Azhar Kairo, Aḥmad Khaṭīb merekomendasikan murid-muridnya di Hijaz untuk belajar ke al-Azhar.

Salah seorang murid Aḥmad Khaṭīb yang menyambut rekomendasi gurunya adalah saudara sepupu dari Aḥmad Khaṭīb sendiri, yakni Muḥammad Ṭāhir b. Jalāl al-Dīn al-Minangkābawī al-Azharī (1869-1956).[32]

Sebelum ke al-Azhar, Ṭāhir Jalāl al-Dīn telah menghabiskan umurnya selama empat belas tahun di Makkah untuk bekerja sebagai pemandu ibadah haji (muṭawwif) sembari belajar kepada Aḥmad Khaṭīb.

Kemudian dia pergi ke al-Azhar untuk memantapkan studinya perihal ilmu astronomi (‘ilm al-falak).

Selama di al-Azhar inilah Ṭāhir Jalāl al-Dīn sering mengikuti majelis yang diselenggarakan oleh Muḥammad ‘Abduh dan banyak terpengaruh oleh sang “ulama modernis” tersebut. Ṭāhir Jalāl al-Dīn juga menjalin persahabatan yang akrab dengan murid ‘Abduh yang paling brilian, Muḥammad Rasyīd Riḍā.[33]

Mengenai ‘Abduh, sesungguhnya Aḥmad Khaṭīb al-Minangkābawī termasuk di antara orang-orang yang mencela sang muftī Mesir tersebut. Hal ini dikarenakan kedekatan ‘Abduh dengan Lord Cromer dan orang-orang Inggris di Mesir (lihat Bab III).

Bahkan pada tahun 1895 Aḥmad Khaṭīb secara tegas menyebutkan bahwa siapa saja seorang Muslim yang mengikuti “tuan kulit putih”-nya, maka dia akan masuk Neraka.[34]

Tentu penyerangan Aḥmad Khaṭīb yang keras kepada ‘Abduh dan para pengikutnya berpengaruh kepada murid-murid yang berada dalam lingkaran ḥalaqah Aḥmad Khaṭīb di Masjid al-Ḥaram Makkah. Namun Ṭāhir Jalāl al-Dīn tidak terlalu memperdulikan peringatan gurunya tersebut.

Menurut Zakariya, Ṭāhir Jalāl al-Dīn memainkan peranan penting dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran ‘Abduh di dunia Melayu.

Ṭāhir Jalāl al-Dīn menjadi mentor bagi orang-orang di Hindia-Belanda dan Malaya-Inggris yang antusias mengikuti tren intelektual modernisasi Islam di Timur Tengah yang dipelopori oleh ‘Abduh.[35]

Pada 1899 ia kembali ke Sumatera Barat, kemudian pergi dan memutuskan tinggal di Kuala Kangsar yang berada dalam wilayah Kesultanan Perak. Beberapa tahun kemudian, Ṭāhir Jalāl al-Dīn diangkat oleh Sultan Idrīs Mursyid al-Mu’aẓẓam Syāh (k. 1887-1916) untuk menjadi muftī Kesultanan Perak.

Walau tinggal di Perak, Ṭāhir Jalāl al-Dīn sering bolak-balik dari rumahnya menuju Riau-Lingga dan Sumatera.

Selama kunjungannya di Pulau Penyengat Riau, Ṭāhir Jalāl al-Dīn menjalin hubungan erat dengan seorang Arab peranakan kelahiran Malaka yang dijadikan anak angkat oleh salah seorang petinggi Kesultanan Riau, Raja ‘Alī Kelana b. Raja Aḥmad.

Arab peranakan yang tinggal di Pulau Penyengat Riau tersebut bernama Sayyid b. Aḥmad al-Hādī (1862-1934).

Baik Sayyid al-Hādī maupun Ṭāhir Jalāl al-Dīn sama-sama aktif di sebuah kelompok belajar di Riau yang bernama Persekutuan Rusydiyyah.[36]

Terpengaruh oleh al-Manār, publikasi yang menyuarakan pemikiran Islam modernis buatan Rasyīd Riḍā di Mesir, Ṭāhir Jalāl al-Dīn dan Sayyid al-Hādī tergugah untuk mendirikan majalah yang serupa. Mereka pun menerbitkan al-Imām di Singapura pada tahun 1906.[37]

Gambar 4. Cover of the magazine al-Imām. Foto: Wikipedia

Koran al-Imām antusias terhadap perkembangan berita di Timur Tengah, khususnya berita-berita yang terkait dengan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah.

Di saat yang bersamaan, al-Imām juga menaruh perhatian terhadap Jepang yang maju berkat restorasi Meiji. Bagi al-Imām, Khilāfah ‘Uṡmāniyyah dan Jepang adalah tauladan yang dapat merepresentasikan kebangkitan Islam dan Asia.[38]

Bahkan banyak Muslim yang meyakini bahwa Kaisar Jepang, Mutsuhito Meiji, telah masuk Islam dan bergabung dengan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah, walau tentu saja kenyataannya tidak demikian.

Seorang Johor, ‘Abd al-Raḥmān Muar, menulis artikel berjudul “Matahari Memancar” yang diterbitkan dalam al-Imām pada 23 Juli 1906 dan menyebutkan tentang ulama-ulama Turki yang dikirim Sultan Abdülḥamit II ke Jepang.[39]

Al-Imām memuji Sultan Abdülḥamit II sebagai amīr al-mu’minīn yang begitu peduli terhadap umat Islam, di mana Sultan Abdülḥamit II telah membangun banyak sekolah, sarana-sarana komunikasi, dan tentu saja kereta api Hijaz yang memudahkan moda transportasi untuk ibadah haji.

Menurut al-Imām, pencapaian-pencapaian sukses Khilāfah ‘Uṡmāniyyah tentu akan mendapat penentangan dari bangsa Barat. Oleh karena itu al-Imām mendukung dan turut mendoakan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah agar senantiasa dilindungi sampai Hari Akhir nanti.[40]

Konsul Belanda untuk Singapura, Spakler, tentu saja kegerahan ketika membaca tulisan-tulisan yang terpampang dalam al-Imām.

Ia kemudian mengadu kepada Snouck Hurgronje pada 9 Agustus 1906 tentang adanya sebuah pers Singapura yang menjadi corong “propaganda Pan-Islamisme” (panislamitische propaganda).

Spakler terheran-heran mengapa Sayyid ‘Uṡmān dari Batavia pernah berkunjung ke kantor al-Imām. Bukankah Sayyid ‘Uṡmān adalah sahabat Belanda yang setia? Snouck menampik kegelisahan Spakler, dengan mengatakan bahwa anggapannya tentang al-Imām yang menjadi corong Pan-Islamisme Khilāfah ‘Uṡmāniyyah tidak berdasar.

Menurut Snouck, al-Imām tidak lebih hanya menyuarakan suatu bentuk “modernisme yang tidak merusak”, sehingga Spakler tak perlu khawatir.[41]

Apa pasal Snouck mengucapkan demikian? Bukankah al-Imām menyuarakan dukungannya kepada Sultan Abdülḥamit II, penguasa Islam yang ditakuti Belanda?

Memang begitu adanya, namun di saat yang bersamaan al-Imām juga menyiratkan dukungan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.

Tatkala mendeskripsikan prosesi kenaikan takhta Muḥammad Syāfī al-Dīn sebagai Sultan Sambas di Kalimantan, al-Imām menjelaskan bahwa “pasar-pasar telah dihias dengan bendera keadilan Ratu Belanda”.[42]

Lagipula, Sayyid al-Hādī selaku pendiri al-Imām ternyata juga menjadi agen Bintang Hindia buatan Abdoel Rivai untuk Singapura.

Foto Sayyid al-Hādī pernah dimuat dalam koran corong Pax-Neerlandica tersebut. Begitu pula rekannya, Ṭāhir Jalāl al-Dīn al-Minangkābawī al-Azharī, yang fotonya juga dimuat di koran yang sama dengan titel “seorang Minangkabau sekarang menjadi guru agama di Kairo”.

Laffan menduga, Sayyid al-Hādī dan Ṭāhir Jalāl al-Dīn pasti telah bertemu dengan Clockener Broussons atau Abdoel Rivai, dan mengagumi mereka berdua sebagai seorang yang berpikiran modern.[43]

Sepaket dengan misinya untuk memodernisasi jalan pikir bangsa Melayu menuju kemadjoean, al-Imām juga turut mempopulerkan nasionalisme dan patriotisme sebagai kunci kebangkitan umat (ummah) dan tanah air (waṭan).

Pada 16 Januari 1907, al-Imām memplubikasikan sebuah artikel dwi-bahasa yang berjudul “Kasih Akan Tempat Kediaman/Ḥubb al-Waṭan”.

Jika konsep patriotisme yang Bintang Hindia kemukakan bersanad kepada Den Haag, maka konsep patriotisme yang al-Imām gencarkan memiliki sanadnya ke Kairo.

Baik patriotisme (vaderlandsliefde) yang berkembang di negeri Belanda maupun patriotisme (waṭaniyyah) di Kairo sama-sama bermuara dari persinggungan kedua tempat tersebut dengan Revolusi Prancis yang diarak Napoleon Bonaparte ke negeri-negeri taklukkannya.

Sebagaimana Mesir yang pernah ditaklukkan Prancis, negeri Belanda juga pernah tertaklukkan pada saat parade peperangan yang digalakkan Napoleon.

Gambar 5. Baik patriotisme (vaderlandsliefde) yang berkembang di negeri Belanda maupun patriotisme (waṭaniyyah) di Kairo sama-sama bermuara dari persinggungan kedua tempat tersebut dengan Revolusi Prancis yang diarak Napoleon Bonaparte ke negeri-negeri taklukkannya.

Kampanye militer Napoleon terentang dari tahun 1803 sampai 1815 dan hampir menguasai seluruh daratan Eropa. Napoleon Bonaparte menempatkan adiknya, Louis Bonaparte (k. 1806-1810) sebagai penguasa Belanda.

Tentu saja selama kekuasaan Prancis di Belanda, paham-paham Renaissance seperti nasionalisme dan patriotisme juga merebak ke seantero Negeri Kincir Angin tersebut.

Sebagaimana kerancuan orang-orang Prancis di Mesir ketika menerjemahkan kata “bangsa Mesir” menjadi “umat Mesir”, al-Imām juga berusaha menyempitkan makna kata umat.

Lazimnya, terminologi umat dinisbatkan kepada kaum Muslim tanpa memandang asal-usul kebangsaannya. Namun al-Imām menggunakan frasa umat dengan menisbatkannya kepada suku bangsa tertentu, seperti “umat Melaka”, “umat Bugis”, “umat Jawa”, dan seterusnya.[44]

Muḥammad Murtajī pada 14 Mei 1907 menulis artikel dwi-bahasa yang dimuat di al-Imām berjudul Ma’nā al-Ummah wa al-Waṭan wa al-Ḥukūmah wa al-Ḥurriyyah, tak lupa dibubuhi dengan arti bahasa Melayunya: “Himpun persaudaraan dan tempat kediaman dan kuat kerajaan dan kebebasan!”

Dengan menyebut dirinya sebagai abnā’ al-waṭan al-‘azīz/anak-anak bumi yang mulia, Murtajī mengetengahkan istilah-istilah yang mulai digandrungi oleh umat Islam kala itu, seperti tanah air (waṭan), pemerintahan (ḥukūmah), keadilan (‘adl), politik (siyāsah), dan kebebasan (ḥurriyyah).

Murtajī menggemakan kembali usaha yang pernah dilakukan Ḥusayn al-Marṣafī, seorang “ulama modernis” di Mesir pada 1881 ketika menjelaskan tentang makna ummah dan waṭan dalam bukunya Risālah al-Kalim al-Ṡaman (Catatan untuk Delapan Kata).

Menurut al-Marṣafī, basis pemersatu umat yang terpenting adalah ikatan bahasa (lugah) dan tanah air (waṭan), di samping ikatan agama (dīn).[45]

Pemahaman ini diadopsi oleh Murtajī dan para redaktur al-Imām yang akhirnya menstimulasi lahirnya konsep “nasionalisme-religius”.

Dengan agen al-Imām yang tersebar tidak hanya di Singapura, tetapi juga di kota-kota Hindia-Belanda seperti Batavia, Tjiandjoer, Soerabaja, Semarang, Pontianak, Sambas, dan Makassar,[46] maka konsep nasionalisme-religius mengemuka ke kalangan Muslim modernis Hindia-Belanda di awal abad ke-20.

  1. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 14-15.

  2. Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, Penerjemah Zahara Deliar Noer (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009), 55.

  3. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Beland, 100.

  4. Ibid, 110-114.

  5. M. Dien Madjid, Berhaji di Masa Kolonial, (Jakarta: CV Sejahtera, 2008), h. 90; Arsip Nasional RI, Residensi Tegal 1858 No. 198 B/3, dikutip dari Ibid, 101.

  6. Ibid, 126-128. Sebagai contoh adalah pengalaman Ripin dan Daroes, warga Kesultanan Riau yang mendapat bantuan keuangan dari Konsulat Belanda di Jeddah. Konsulat di Jeddah memberi tahu Sultan Riau bahwa warganya memohon pinjaman uang untuk pulang sebesar 100 dan 150 gulden. Setelah itu, melalui Residen Riau maka Sultan Riau mengirim uang ke Jeddah: “Maka adalah kita makloemkan kepada PSSK (Paduka Sri Sahabat Kita) jang kita ada mendapat soerat dari pada Consul Djeddah, jaitoe menjalankan patsal hoetangnja Ripin, dan Daroos, maka adalah bersama ini soerat kita mengirimkan soerat hoetang orang-orang jang terseboet di atas ini ... maka telah berharaplah kita akan PSSK membajar wang terseboet di atas ini serta dengan blandjanja akan dikirimkan itoe wang kembali kepada Consul di Jeddah.”

  7. Q.S. al-Tawbah [9]: 71.

  8. Muḥammad b. Sa’īd al-Qaḥṭānī, al-Walā’ wa al-Barā’ fī al-Islām, (Makkah-Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1413 H), 91.

  9. ‘Abd Allah b. ‘Umar b. Sulaymān al-Dumayjī, al-Imāmah al-‘Uẓmā ‘inda Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, (Riyadh: Dār al-Ṭayyibah, tt), 236-237.

  10. Michael F. Laffan, “‘A Watchful Eyes’: The Meccan Plot of 1881 and Changing Dutch Perceptions of Islam in Indonesia”. Archipel. Vol. 63 (2002): 83, 89.

  11. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 13.

  12. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, 6:73.

  13. Kees van Dijk, “Ketakutan Penjajah, 1890-1918: Pan-Islamisme dan Persekongkolan Jerman-India”, dalam Nico J.G. Kaptein, ed., Kekacauan dan Kerusuhan, 35; Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, 6:85.

  14. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, 6:89.

  15. George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, (Depok: Komunitas Bambu, 2013), 60; Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, 6:89.

  16. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, 6:88.

  17. Michael F. Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, 94.

  18. Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, 70.

  19. Ahmat B. Adam, The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness, 98.

  20. Harry A. Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, Penerjemah Hazil Tanzil dan Koesalah Soebagyo Toer, (Jakarta: KPG dan KITLV-Jakarta, 2014), 34.

  21. Ibid, 35.

  22. “Pawerta Wolanda”, dalam De Locomotief, (12 Juli 1900).

  23. Kees van Dijk, “Ketakutan Penjajah, 1890-1918: Pan-Islamisme dan Persekongkolan Jerman-India”, dalam Nico J.G. Kaptein, ed., Kekacauan dan Kerusuhan, 45.

  24. Lihat: “Pawerta Wolanda”, De Locomotief (12 Juli 1900); Harry A. Poeze, Di Negeri Penjajah, 62.

  25. Michael F. Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, 96.

  26. Ibid, 101.

  27. Harry A. Poeze, Di Negeri Penjajah, 41. Ungkapan yang menjelaskan batas kolonial ini kembali digunakan di masa kemerdekaan RI sebagai “lagu wajib nasional” ciptaan R. Suharjo, dengan judul yang hampir serupa dengan ungkapan yang ditelurkan Bintang Hindia, “Dari Sabang (Aceh) sampai Merauke (Papua).” Lihat: Benedict Anderson, Imagined Communities, 269-270.

  28. Michael F. Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, 99.

  29. Tamar Djaja, Pusaka Indonesia, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1966), 2:675.

  30. ‘Alī Mubārak, al-Khiṭaṭ al-Tawfīqiyyah al-Jadīdah li Miṣr al-Qāhirah wa Bilādihā al-Qadīmah wa al-Syahīrah, (Kairo, 1888), 4:22. Dikutip dari Michael F. Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, 128.

  31. Ibid, 129.

  32. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Penerjemah Dharmono Hardjowdjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999), 257.

  33. Azyumardi Azra, “The Transmission of al-Manar’s Reformism to the Malay-Indonesian World: The Cases of al-Imam and al-Munir”, Studia Islamika, Vol. 6 No. 3, (1999): 83; Michael F. Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, 129.

  34. Michael F. Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, 169.

  35. Hafiz Zakariya, Cairo and the Printing Press as the Modes in the Dissemination of Muhammad ‘Abduh’s Reformism to Colonial Malaya (Singapore: LACSIT Press, 2011), 122.

  36. Azyumardi Azra, “The Transmission of al-Manar’s Reformism to the Malay-Indonesian World”, 83-85.

  37. Hafiz Zakariya, Cairo and the Printing Press, 124.

  38. William R. Roff, “The Origins of Malay Nationalism 1900-1941”, 89.

  39. Michael F. Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, 162. Salah seorang ulama Turki yang dikirim Sultan Abdülḥamit II ke Jepang yang paling berpengaruh adalah Abdürreşit İbrahim (1857-1944). Mengenai sepak terjang Abdürreşit İbrahim dalam memperjuangkan Pan-Islamisme di Jepang dapat dibaca di Komatsu Hisao, “Muslim Intellectuals and Japan: A Pan-Islamist Mediator, Abdurresid Ibrahim”, dalam Stéphane A. Dudoignon, dkk., ed., Intellectuals in the Modern Islamic World: Transmission, Transformation, Communication, (London and New York: Routledge, 2006), 273-288.

  40. Azyumardi Azra, “The Transmission of al-Manar’s Reformism to the Malay-Indonesian World”, 89. Kelak, sikap positif al-Imām terhadap Sultan Abdülḥamit II akan berbalik 180 derajat pasca-kekuasaan Abdülḥamit mulai dilemahkan oleh Turki Muda pada tahun 1908.

  41. Michael F. Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, 151. Walau Snouck menganggap al-Imām tak membahayakan kekuasaan Belanda dan terdapat 22 agen al-Imām di Hindia-Belanda, tetap saja Pemerintah Kolonial lebih condong terhadap ketakutan Spakler dan memberlakukan sensor yang ketat terhadap sirkulasi al-Imām di wilayah kekuasaannya. Lihat: Ahmat B. Adam, The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness, 140.

  42. Al-Imām, Vol. 2, No. 5 (7 November 1907). Dikutip dari Michael F. Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, 151.

  43. Ibid, 150.

  44. Ibid, 153-155.

  45. Ibid, 154-155; Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 194.

  46. Hafiz Zakariya, Cairo and the Printing Press, 124.

Sumber : Makalah KLI Premium Online Class Surutnya Popularitas Khilafah dan Bangkitnya Nasionalisme di Indonesia oleh Nicko Pandawa S. Hum